Oleh: Bayu Krisnamurthi*
Pertanian Dunia 2020, demikian judul sebuah buku menarik terbitan IPB Press Mei 2021, berisi kumpulan tulisan para peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian – dan hampir semua Alumni IPB. Di bagian ‘Sekapur Sirih’ para penulis buku, Syahyuti dkk, mengutip kalimat bijak orang Minang: ‘alam takambang menjadi guru’, yang memberi nasehat bahwa dunia yang membentang luas adalah tempat belajar dan mencari pengalaman yang sangat berharga. Sebuah semangat yang sangat penting dan perlu.
Buku itu menjadi menarik setidaknya karena dua hal. Pertama, tampaknya buku itu ditulis selama tahun 2020, ketika hampir seluruh kegiatan terhenti akibat Pandemi; termasuk juga terhenti atau terganggunya kegiatan (perdagangan) pangan diberbagai belahan dunia.
Akibatnya Indeks Harga Pangan naik dengan rekor tertinggi, terutama disebabkan oleh kenaikan harga minyak nabati, daging dan prosuk susu. Hingga Maret 2021 harga pangan dunia telah naik 40% dibandingkan Januari 2020, dimana harga jagung naik 66%, harga gandum naik 23%, dan harga padi-padian naik 45%.
Kenaikan harga ditambah dengan penurunan pendapatan – akibat PHK dan resesi ekonomi – kemudian membuat Indeks Ketahanan Pangan Global menunjukkan angka yang menurun jika dilihat empat faktor: keterjangkauan pangan, ketersediaan pangan, kualitas dan keamanan pangan, serta ketersediaan dan daya tahan sumberdaya alam untuk pangan (dari gangguan iklim dan bencana).
World Food Programme memperkirakan terdapat tambahan 110 juta orang yang kelaparan (kekurangan makanan bergizi) di dunia akibat Covid19, padahal sebelumnya sudah ada sekitar 650 juta orang menghadapi masalah pangan serius.
Disinilah ‘alam takambang menjadi guru’ itu memberi makna strategis karena meskipun situasi pangan dunia secara umum sedang memburuk, tetapi ternyata ada negera-negara yang situasinya lebih buruk dan ada negara yang tidak seburuk lainnya.
Buku Pertanian Dunia 2020 kemudian membuka kesempatan pembelajaran. Misalnya, negara yang tidak terlalu buruk situasinya adalah negara yang menerapkan sistem penyuluhan yang lebih pluralistik: organisasi petani terlibat, ada penyuluh swasta, ada peran perguruan tinggi, dan ada penyuluh NGO. Intinya, penyuluhan tidak lagi tergantung pemerintah. Dan yang jelas, jumlah penyuluhnya lebih banyak.
Pelajaran lain, soal benih. Meskipun setelah ‘mega-merger’ perusahaan-perusahaan benih dunia tahun 2016 dua kelompok perusahaan (Monsanto-Bayer-CropScience dan Dow-DuPont) menguasai lebih 50% perdagangan benih global; ada puluhan perusahaan benih yang menspesialisasikan diri mengembangkan benih dan melayani pasar nasional masing-masing. Dan negara dengan sistem perbenihan yang berkembang – termasuk berkembangnya benih-benih petani – situasi pangannya tidak seburuk negara lain.
Hal kedua yang membuat buku itu menarik adalah terbit ketika BRIN lahir. Badan Riset dan Inovasi Nasional itu dikonsepkan menggabungkan LIPI, BPPT, Lapan dan Batan; serta kabarnya akan mengkoordinasikan semua kegiatan riset yang ada di berbagai badan penelitian dan pengembangan kementerian lembaga; plus – kabarnya juga – akan ‘memaksa’ semua ASN yang berstatus sebagai ‘peneliti’ untuk beralih menjadi pegawai BRIN. BRIN memang telah dibahas lama, puluhan tahun, termasuk ketika dunia riset Indonesia dipimpin oleh ilmuwan hebat yang diakui dunia seperti Prof B.J. Habibie. Namun beberapa media melaporkan juklak-juknis pengkoordinasian dan perubahan status kepegawaian peneliti itu masih belum jelas. Mungkin masih dalam proses.
Badan Litbang Pertanian yang besar – jangan-jangan pegawainya diseluruh Indonesia lebih banyak dari gabungan empat lembaga yang menjadi BRIN – tentu akan terpengaruh oleh adanya BRIN. Para penelitinya – termasuk para penulis buku itu mungkin sedang menunggu dengan bertanya-tanya tentang nasib dan masa depan mereka.
Dan sekali lagi, pembelajaran dari negara lain menunjukkan bahwa sistem penelitian dan pengembangan (R&D), yang menyangkut sistem kerja para peneliti dan pembiayaannya benar-benar menjadi penentu kinerja (pertanian). Sebagai perbandingan, anggaran R&D Amerika Serikat mencapai USD 475 milyar/tahun, Jepang mencapai USD 170 milyar, China mencapai USD 350 milyar, Korsel mencapai USD 73 milyar, dan Jerman USD 110 milyar. Anggaran R&D Indonesia hanya USD 2 milyar saja.
Jika anggaran memang jauh tertinggal, maka tentu andalan untuk mendapatkan hasil R&D yang berguna bagi masyarakat, yang mampu menjawab berbagai permasalahan, dan menjadi dasar untuk membangun kemampuan dan daya tahan menghadapi dinamika masa depan; akan terletak pada sistem kerja dan semangat para penelitinya. Harapannya, BRIN yang sekarang telah terwujud benar-benar dapat membangun semangat para peneliti itu.
Para peneliti penulis buku tidak hanya telah menjadikan ‘alam takambang menjadi guru’, tetapi lebih dari itu telah menterjemahkan apa yang diperolehnya sehingga kita yang awam juga dapat membaca dan belajar. Mereka adalah juga ‘para guru’, dan menghormati – menghargai para guru wajib hukumnya. Kiranya BRIN dapat menjadi alat untuk mewujudkan adab mulia itu. Semoga.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Agribisnis Indonesia (AAI), Dosen Agribisnis IPB University. Pernah menjadi Wakil Mentri Pertanian, Wakil Menteri Pedagangan.
Catatatan: Tulisan ini merupakan catatatan rutin Bayu edisi 12 Juni 2021 yang di share di group AAI.