Perihal Yang Kosong Itu…

0
446
Wabup
Ilustrasi (Tribun)

Oleh : Alja Yusnadi

Sudah lebih sebulan saya tidak mengisi ruang yang saya buat sendiri ini. Tidak ada alasan, karena, sebelum membangun kamar virtual ini, saya sudah membayangkan apa yang menjadi kendalanya, salah satunya, ya, konsistensi. Tidak semua orang dapat bertahan dengan satu hari satu tulisan, kecuali Dahlan Iskan. Melalui Disway nya, jurnalis dan pengusaha media ini menulis sendiri satu tulisan setiap hari.

Memulai tahun 2022 ini pun, saya tidak punya resolusi khusus, hanya menjalani beberapa kegiatan yang sudah saya mulai, dan beberapa rencana lain. Yang paling pokok, bagaimana menyangkutkan semua aktivitas itu di tali-temali yang panjang dan tersambung itu.

Ada satu hal yang menggelitik, namun tidak begitu geli. Beberapa kawan, mulai dari politisi, akademisi, jurnalis, masyarakat, menanyakan, bagaimana perihal yang kosong itu? Sebagaimana Anda tahu, Bupati Aceh Selatan sudah 1 tahun 7 bulan melaksanakan tugas sendiri.

Ini pertanyaan, yang kalau diibaratkan ujian sekolah berbentuk essai, panjang jawabannya bisa menghabiskan beberapa halaman kwarto. Saya belum pernah menjawab dengan panjang-lebar, bukan apa-apa, selain tidak bawa kwarto, saya takut, jawaban saya nanti akan membosankan. Lagian, apa enaknya sih sendirian? bukannya kesepian?

Baiklah, melalui kamar virtual ini, saya meuratoh sedikit, perihal yang kosong itu. Asal cerita, saya yakin Anda sudah tahu; Bupati Aceh Selatan periode 2018-2023 meninggal dunia. Sebagai gantinya, secara otomatis, Wakil Bupati naik tahta menjadi Bupati.

Dan, di sinilah asal mula pertanyaan yang singkat namun padat itu dimulai. Sejak dilantik pada 25 Juni 2020, Bupati Aceh Selatan tidak memiliki Wakil, sampai sekarang. Bagi yang memandang penting adanya Wakil, yang menjadi sasaran tembak adalah partai pengusung. Bupati itu diusung oleh PKB, HANURA, PDI Perjuangan, dan PNA. Partai yang terakhir itu, ketua DPW nya adalah Bupati sekarang, Tgk. Amran.

Setelah terjadi kekosongan, saya sudah pernah menanyakan kepada petinggi PNA Aceh Selatan perihal yang kosong itu. Termasuk kepada Bupati. Jawabannya, kurang lebih sama, nanti pada saatnya akan kita undang partai koalisi.

Bersama petinggi partai koalisi, saya juga sudah berdiskusi dengan petinggi PNA, bahkan lebih dari sekali. Inisiatif itu, selalu datang dari partai koalisi. Hasilnya? Ya, seperti yang Anda lihat hari ini, yang kosong itu masih dibiarkan melompong, pendopo sudah berdebu—mungkin—juga berhantu.

Saking seriusnya, saya juga sudah pernah mendampingi Bupati bersama petinggi PNA untuk memenuhi undangan DPP PDI perjuangan, tahun lalu, partai tempat saya bernaung. Dalam pertemuan itu, DPP menanyakan mengenai kursi yang kosong itu, apa ada rencana di isi, atau dibiarkan kosong.

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Hingga sudah tiga kali berganti kalender, yang kosong itu belum juga diisi, bahkan sekedar isyarat.

Saya tidak akan mengulas proses normatifnya, karena Anda sudah tahu. Singkatnya, Bupati menyerahkan dua nama kepada DPRK untuk ditetapkan dalam sidang paripurna. Dua nama itu, tentulah harus mendapat persetujuan partai pengusung dan hak DPRK pula memilih satu dari dua nama itu.

Publik, terutama pengguna media sosial yang secara politik membela Bupati, menyerang partai pengusung perihal keterlambatan—atau ketiadaan—wakil ini. Katanya, partai pengusung belum mengusulkan nama kepada Bupati. Mereka mengirim bola panas.

Saya tidak tahu, apakah yang disebut pengusulan itu hanya secara tulisan. Sebab, partai pengusung sudah memberikan nama. langkah seperti itu untuk memberikan ruang kepada Bupati, jika memiliki nama yang sesuai, akan kita masukkan dalam rekomendasi. Tujuannya, agar terjalin keharmonisan, baik ke atas maupun ke bawah, bahkan ke samping. Lagi pula, hal ini untuk menghindari lebih dari sekali teken surat rekomendasi oleh DPP. Biar klop. biar tidak ada tarik menarik.

Setelah lama menunggu, tidak juga datang, akhirnya partai pengusung, kecuali PNA sepakat untuk menyurati Bupati. Isinya, meminta Bupati untuk segera mengusulkan dua nama ke DPRK untuk ditetapkan menjadi wakil bupati dalam sidang paripurna. Kedua, mengusulkan beberapa nama yang dapat dipertimbangkan oleh Bupati. Jika Bupati memiliki nama lain, partai pengusung siap untuk berdiskusi.

Ini hanyalah proses. Paling tidak, partai pengusung sudah menjalankan peran konstitusionalnya. Hal pokoknya, berpulang kepada Bupati. Jika membutuhkan wakil, silakan direspon, jika tidak, hmm, nikmati saja perjalanan sisa yang menghanyutkan ini.

Kejadian ini menjadi preseden buruk bagi partai politik, terutama yang mengusung. Hubungan politik terlihat harmonis di awal saja, setelah berkuasa, tidak bisa di kontrol, tidak  bisa pula dikatrol, apalagi di rikol.

Pun demikian, jangan pernah jera, ini adalah proses politik yang kadang-kadang terlihat absurd. Atau, saran saya, akui sajalah, bahwa tidak perlu lagi membahas yang kosong itu, apalagi hanya tinggal satu kali APBK, biar jentel dan terang.

Jadi, itulah sekilas tentang yang kosong itu, ya! Jangan ada lagi sak-wasangka…Merdeka!!! [Alja Yusnadi]