Oleh: Alja Yusnadi
Kalau Presiden Jokowi ke Aceh, ada saja yang meledek saya. Bukan orang lain, kawan sendiri. Kali ini, kawan saya itu yang pada pilpres mendukung Prabowo, meledek saya,”Untuk apa tol di Aceh, itukan untuk orang yang sanggup bayar,” katanya.
Saya tidak marah dengan ledekan itu. Selain beda pilihan politik, saya juga mahfum, bahwa pembangunan itu memang ada plus-minusnya, lebih kurangnya. Saya tidak melihat kawan saya itu sebagai lawan. Apalagi Pilpres dan Pileg sudah selesai.
Lucunya, pada saat Pileg dia mendukung saya, di saat Pilpres dia mendukung Prabowo. Begitulah kenyataannya. Padahal, saya pendukung Jokowi. Menurutnya, dia mengikuti saya karena kawan. Dia tahu tindak-tanduk saya. Dia bukan orang partai, hanya sedikit melek politik.
Saya tidak memiliki informasi yang cukup mengenai pembangunan jalan tol itu. Saya jelaskan ala kadarnya kepada kawan saya itu. Kalau tidak salah, pembangunan jalan tol dibiayai oleh swasta, Pemerintah membebaskan lahan.
Secara ekonomi, menurut perhitungan saya, membuka jalan berbayar di Aceh tidak menguntungkan, terutama dalam lima tahun pertama. Justru di situ kehebatan Pemerintah, “memaksa” pengusaha untuk berinvestasi jalan tol di daerah seperti Aceh dan Papua.
Dugaan saya, Pemerintah “memaksa” pengusaha dengan cara subsidi silang. Maksudnya, jika pengusaha itu mau mendapat izin membangun jalan tol di kawasan padat industri, seperti di kota-kota besar, salah satu syaratnya harus mau berinvestasi di daerah yang bukan kawasan industri.
Itu dugaan saya, sekali lagi, dugaan. Atau bisa juga pemerintah membiayai dari sumber APBN untuk “mempersatukan” nusantara. Jika Patih Gajah mada terkenal dengan Sumpah Palapanya, maka Presiden Jokowi terkenal dengan Semesta Berencananya: Tol darat, Tol lautnya.
Terus, lanjut kawan saya itu lagi, jalan tol itukan berbayar, mana mungkin masyarakat kecil dapat menikmatinya. Saya jawab, jalan tol itu kelebihannya tanpa hambatan. Baik itu hambatan macet, hambatan bajing loncat, hambatan bentang alam, dan hambatan-hambatan lainnya.
Tidak semua harus melewati jalan tol. Seperti kawan saya itu, tinggalnya di Kaki Gunung Leuser, lebih satu jam dari Tapaktuan. Untuk apa jalan tol yang rencananya dibangun sampai ke Lampung itu?
Begitu juga saya, kalau tidak penting-penting sekali untuk apa lewat jalan tol. Toh, jalan yang tak berbayar masih ada.
Jalan tol itu untuk yang berpacu dengan waktu. Kalau di kota-kota besar untuk menghindari macet. Kalau kita, jalan biasa belum macet. Salah satu yang penting sekali berpacu dengan waktu adalah pengusaha, petani, nelayan, pelaku UMKM yang mengirimkan hasil produksinya ke luar daerah.
Sebagaimana amanat Pak Presiden dalam sambutan peresmian jalan tol Blang Bintang-Indrapuri,”Saya minta agar jalan tol ini disambungkan dengan sentra-sentra pertanian, pariwisata dan kawasan industri, sehingga betul-betul bermanfaat bagi masyarakat kita di Aceh, dan kita harapkan Aceh menjadi Episentrum perekonomian baru di Pulau Sumatera,” Ungkap Presiden. Saya kira, ada yang sangat prestisius dari pidato Presiden Jokowi.
Pemerintah sudah membangun jalan tol, diperkirakan 2024 Aceh tersambung ke Lampung. Tinggal lagi, bagaimana Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota merumuskan kebijakan, sehingga setiap daerah memiliki sentra-sentra yang diharapkan Presiden tadi.
Lantas, apa hubungannya sentra-sentra itu dengan jalan tol? Jelas, sangat intim hubungannya. Kalau Aceh menjadi produsen berbagai produk, baik pertanian, kelautan-perikanan, hasil hutan mau di angkut ke Medan atau ke Bakauheni untuk seterusnya entah di eksport atau menuju Jakarta, jalan tol sangat membantu memangkas waktu.
Kalau Pemerintah Aceh serius mengurus peternakan ayam petelor, bukan tidak mungkin jalan tol itu dilewati oleh telor-telor Aceh menuju pasarnya, entah Medan, Padang, dan daerah lain.
Begitu juga sebaliknya, sebagai konsumen, Aceh tidak akan pernah langka bahan-bahan kebutuhan pokok yang disebabkan rusak jalan, pohon tumbang atau jalan longsor.
Idealnya, jumlah barang yang masuk dan yang keluar harus seimbang. Jika kebanyakan yang masuk, tentu jalan tol akan mempercepat kita menjadi masyarakat konsumtif. Mengharapkan lebih banyak yang keluar tentu berlebihan, kecuali telor-telor tadi itu.
Selain telor, Pemerintah juga harus menggalakkan masyarakat menanam Pisang. Kita akan menyaksikan Pisang-pisang Aceh menjadi bahan baku pembuatan Kedapan di Medan, Padang, bahkan Lampung. Atau bisa juga UMKM Aceh akan menembus pasar-pasar Sumatera dan Pulau Jawa.
Tanpa semua itu, barulah saya sepakat dengan kawan tadi itu. Pembangunan jalan tol akan sia-sia. Kasihan Presiden Jokowi yang sudah bersusah payah meresmikannya.
Terakhir, lain kali, kalau Pak Jokowi ke Aceh, ya kasih bocoran dikitlah. Bukan apa-apa, kalau tetiba ada kawan saya meledek, sebagai pendukung fanatik, saya tau harus menjawab apa. Jangan pernah bosan membangun Aceh Pak Jokowi.