Oleh: Alja Yusnadi
Satu Musuh, banyak, seratus kawan, kurang. Begitulah adagium yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan kita. Kurang-lebih, petuah itu menganjurkan kita untuk memperbanyak teman dan mengurangi lawan. Soal kualitas itu lain perkara, ini kita bicara kuantitas.
Ngomong-ngomong soal kawan, tentu kita memiliki kawan dari beragam profesi, latar belakang, mungkin juga suku, mungkin juga agama. Sangat tergantung keluwesan dan jam terbang.
Kali ini, saya teringat kepada salah satu kawan. Secara umur jauh di atas saya. Di kota kecil itu, tidak ada yang tidak menganal dirinya. Saya dengar, dia pensiunan pegawai pemerintah.
Saya mengenalnya sebagai Pers. Namun, berbeda dengan Pers kebanyakan. Saya kurang tahu dia menulis untuk media apa. Yang jelas, dia mengelola salah satu akun media sosial dengan nama: Tribun Awasi.
Apakah ada kaitan Tribun Pak Kus dengan raksasa media Tribunnews, saya kurang paham, dan tidak pernah menanyakannya.
Kawan saya itu, dalam setiap tulisan selalu membuat kode: By Kus. By itu oleh, Kus itu singkatan namanya, kalau tidak salah singkatan dari Kusnaidi Namin, SH. Jadilah By Kus itu, oleh Kus, oleh Kusnaidi Namin. Maksudnya, tulisan itu ditulis oleh Kusnaidi Namin.
Saya memanggilnya Pak Kus, sesekali By Kus. Dalam aktivitas peliputannya, beberapa kali Pak Kus mengambil foto saya dan mempostingnya di Tribun Awasi, seraya menulis satu-dua kalimat pengantar. Dalam hal ini, By Kus tidak kalah mentereng dengan wartawan lain, justru nampak lebih sigap.
By Kus memiliki satu unit kamera yang digantung di leher setiap kali menghadiri peliputan di ruangan paripurna DPRK Aceh Selatan. Pak Kus mengarahkan kamera kemana dia suka. Pak Kus dekat dengan semua kalangan, termasuk orang nomor satu di daerah itu. Jika ada politisi yang tidak mengenal By Kus, bisa dipastikan, itu politisi kacangan, pendatang baru.
Sudah setahun saya tidak bertemu dengan Pak Kus. Beberapa hari yang lalu, dia membagikan salah satu foto saya di “media” yang dia kelola. Dia membuat caption, pendek saja tentang saya.
Membaca itu, mendorong saya untuk menulis tentang Pak Kus, tentu dengan informasi yang sangat terbatas. Karena saya memang tidak begitu mengetahui sejarah hidup Pak Kus.
Yang saya ingat, Pak Kus memiliki wawasan politik yang mumpuni. Dia mengetahui berbagai sejarah politik di Indonesia. Satu waktu, saya lupa kapan persisnya, saya mengajak Pak Kus jalan-jalan, makan ke salah satu café di Samadua.
Saya menangkap, By Kus adalah seorang nasionalis. Dengan lugas dia menceritakan persoalan nasionalisme dan tantangannya dalam politik lokal. By Kus bukan pengurus partai politik manapun. Dia memiliki koleksi baju kaos partai yang beragam. Dia juga memakainya silih berganti. Pak Kus juga bisa berbahasa asing.
Begitulah, Pak Kus yang legendaris itu hadir sebagai salah satu warna. Kelebihannya, dia memiliki ciri khas, punya kode khusus. Tidak semua orang memilikinya.
Andai Kusnaidi Namin terlibat dalam sebuah misi rahasia, cukuplah By Kus menjadi sandinya. Atau, kalau Anda membaca suatu tulisan dengan kode By Kus, itulah milik Pak Kus.
Jika dalam komentator sepak bola nasional kita mengenal Bung Kus–sapaan Mohammad Kusnaini–Maka dalam politik Aceh Selatan ada By Kus. Dia akan mengomentari apa saja: politik, sejarah, sosial, budaya, dan isu lainnya. Kalau Anda tidak siap masuk Tribun Awasi, jangan dekat-dekat, kamera By Kus ada di mana-mana.