Oleh: Alja Yusnadi
Rupanya, perihal stiker masih berlanjut. Kali ini, giliran masyarakat sipil yang membuatnya, sebagai reaksi atas stiker Pemerintah Aceh untuk kendaraan pemakai BBM jenis Solar dan Premium. Kebalikannya, stiker ini akan menyasar mobil dinas Pemerintah Aceh.
Ada beberapa orang yang secara konsisten mengkritik kebijakan Pemerintah Aceh, yang sering saya lihat adalah Syakya Meirizal, Munzami, Very Al Buchari, Zulfikar Muhammad. Tentu masih banyak nama lain, tapi mereka ini yang konsisten, setidaknya yang sering muncul diberanda media sosial. Hampir seluruh kebijakan mereka respon.
Mereka bergerak dengan pola yang berbeda. Syakya misalnya, sering live di salah satu media sosial. Dia mengkritik menggunakan kekuatan oral. Beberapa argumennya kuat, disertai data.
Awalnya, melalui Majelis Penyelamat Otsus (MPO) Aceh, Syakya fokus kepada penggunaan dana otsus Aceh. Belakangan, Koordinator MPO Aceh ini mengamati apa saja kebijakan Pemerintah Aceh yang diangap nyeleneh atau tidak tepat sasaran.
Berikutnya Muzami, Direktur Ideas. Melalui lembaganya, Jemi—panggilan Muzami—sering mengkritik kebijakan Pemerintah Aceh dari sisi pengelolaan keuangan. Jemi memang ekonom—setidaknya jebolan Fakultas Ekonomi Unsyiah–.
Terakhir, Muzami merilis jumlah APBA yang digunakan untuk membeli kendaraan dinas pejabat Pemerintah Aceh, bahkan ada yang sampai 4,2 milyar rupiah per unitnya.
Selanjutnya, Veri Al Buchari. Saking gemasnya, Veri melakap diri sebagai pengamat Plt. Ini jenis pengamat baru. Veri ingin mengamati seluruh tindak-tanduk Plt.
Terus, ada nama Zulfikar Muhammad, Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, sebuah lembaga advokasi HAM di Aceh. Belakangan, Zulfikar juga secara konsisten mengkritik kebijakan Pemerintah Aceh.
Kemudian M. Nur, Direktur WALHI Aceh, lembaga yang fokus kepada lingkungan. Setidaknya, keempat orang ini (Minus Jemi) yang mendeklarasikan stiker tandingan itu, isinya: Mobil ini dibeli dengan uang rakyat.
Apa yang dapat ditangkap dari aksi mereka itu? Bisa saja serius akan menempel stiker di kendaraan dinas, atau hanya sekedar kritik sosial terhadap Pemerintah Aceh.
Pendapat warganet terbelah, walau tanpa poling, saya membaca sebagian besar komen warganet sepakat dengan rencana Syakya dan kawan-kawan itu. Sebagian kecil menolak.
Bagi yang menolak, argumentasinya adalah karena plat merah sudah cukup untuk menandakan kendaran itu milik Pemerintah Aceh.
Pendapat itu benar adanya. Namun, ada satu hal yang tidak terjawab dengan sekedar plat merah. Sering, plat itu diganti dengan plat hitam, bahkan dengan plat yang tidak tercatat di kepolisian.
Biasanya penggantian plat tersebut dilakukan untuk keperluan non-dinas atau di luar hari kerja. Nah, bagaimana kalau ditempeli stiker dalam ukuran besar? Memperkecil peluang untuk penyalahgunaan aset daerah.
Sebenarnya ide ini muncul sebagai respon dari kebijakan stikerisasi oleh Pemerintah Aceh kepada pengguna BBM jenis Solar dan Premium. Argumentasinya, jika penempelan stiker untuk kendaraan non-dinas digunakan untuk menjaga moral pemilik kendaraan, kenapa hal serupa tidak dilakukan kepada kendaraan dinas? Subjeknya sama-sama kendaraan.
Untuk membuktikan asumsinya, Syakya dan kawan-kawan memposting beberapa kendaraan dinas yang sudah menggunakan plat hitam.
Jika dalam praktiknya, program stikerisasi Pemerintah Aceh tidak ada aturan yang memerintahkan secara terang, maka tidak ada salah juga Pemerintah Aceh memberlakukan hal serupa dalam hal kendaraan dinas. Justru, penekanannya ada pada kendaraan dinas, karena dibeli dengan APBA.
Kalau saya, melihat gerakan-gerakan esktra parlementer itu sebagai tanda, bahwa masih ada yang peduli. Idealnya, perihal mengawasi itu sudah dimandatkan oleh rakyat kepada wakilnya di DPRA.
Pun demikian, 81 orang wakil rakyat itu memiliki keterbatasan. Tidak semua yang rakyat pikir sempat dipikir oleh mereka. Lagi pula, mereka juga disibukkan dengan perkara-perkara lain yang lebih penting. Katakanlah semisal reses, menyerap aspirasi, kunjungan kerja dan rapat-rapat lain.
Sebagaimana peran media yang menjadi penyangga demokrasi, demikian juga halnya dengan Organisasi Masyarakat Sipil.
Walaupun, tidak tertutup kemungkinan, orang-orang yang mengkritik Pemerintah Aceh hari ini akan menjadi pembisik khusus bagi rezim Pemerintah Aceh ke depan, bahkan ada yang menjadi bagian dari Pemerintahan, entah anggota dewan atau Kepala Daerah. Itu lain soal. Sama juga dengan Penjaga kuping penguasa hari ini merupakan pengkritik di masa lalu atau oposisi di masa depan.
Ruang-ruang kosong itu harus tetap terisi, karena kekuasaan butuh koreksi. Soal pergantian peran, itu keniscayaan. Tidak mungkin mengharapkan satu orang akan menempati posisi itu selama-lamanya.
Hari ini menjadi A, besok menjadi B. Ketika menjadi A jangan ambil peran B, begitu juga ketika menjadi B jangan campur dengan peran A. Anggaplah A dan B itu di dalam dan di luar pemerintah. Penting dicatatat, ketika berada dalam kondisi apapun, kedepankanlah alat pikir.
Oiya, Syakya dan kawan-kawan akan menggelar aksi, Kamis (3/8). Titik kumpul di depan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Saya tidak tahu, apakah aksi itu akan menempel stiker atau orasi bentuk keprihatinan terhadap kinerja DPRA dan Pemerintah Aceh. Bagi yang ada waktu luang dan ingin memberikan dukungan moral, silahkan bergabung…