Oleh: Alja Yusnadi
Apakah Anda pernah melakukan sesuatu yang bobotnya hampir sama, namun hasilnya jauh beda? Bisa jadi yang mempengaruhinya adalah momentum.
Banyak cerita yang bisa kita tulis terkait momentum ini.
Salah satu contoh, Aljayusnadi.com edisi Kamis (8/10)–PAS dan Aceh Selatan Hebat— mendapat respon luar biasa dari pembaca.
Kenapa? Karena mendapatkan momentum. Baik yang pro maupun yang kontra sama-sama ingin membacanya. Saya, menulisnya secara proporsional.
Singkatnya, momentum itu adalah saat yang tepat.
Kalau lagi mujur, momentum itu bisa datang pada waktu yang tidak disangka-sangka. Momentum, bisa pula diciptakan. Kecuali, Anda bisa menemukan “frekuensi khusus”, setiap masa bisa menemukan momentum.
Ada banyak momentum itu. Kita lihat saja dari isu yang lagi panas, mengenai pengesahan Undang-undang Cipta Kerja—saya singkat Cika. Yang Bahaya itu kalau masih menggunakan nama lama: Cipta Lapangan Kerja. Kan tidak elok menyingkatnya Cilaka.
Saya melihat banyak momentum di sana. Momentum pertama milik Mahasiswa—dan juga siswa. Lihat saja, hampir tidak ada unjuk rasa secara masif selama Jokowi pada periode kedua. Tidak ada isu yang bisa menyatukan mahasiswa se nusantara.
Pengesahan Cika ini adalah saat yang tepat. Sentimennya berpihak kepada rakyat, pro kepada buruh. Hampir tidak ada kampus yang mahasiswanya tidak turun ke jalan, pun sampai ke kabupaten/kota. Dosen juga tidak ketinggalan, ada yang akan memberikan nilai A untuk mahasiswa turun ke jalan.
Mahasiswa harus memanfaatkan momentum ini dengan sebaik-baiknya. Jika selama ini sibuk dengan penguasaan teori, saat inilah waktunya aksi, mengabdikan diri kepada ibu pertiwi.
Momentum kedua milik Pemerintah. Entah sudah melalui perhitungan yang matang atau tidak, DPR dan Pemerintah telah menyepakati Cika itu–Misalnya menghitung potensi penolakan, potensi kisruh, rusuh bahkan chaos.
Saat yang tepat karena masyarakat lagi sibuk dengan pandemi. Kalau ini berdasarkan hitungan dan masukan intelijen, inilah momentum yang diciptakan.
Kemudian, momentum berikutnya milik partai politik yang menolak. Dipenghujung, PD dan PKS menolak Cika. Kedua partai ini harus menjadi oposisi tulen. Biar ada yang mengingatkan pemerintah. Paling tidak, ada suara yang berbeda.
Bukan apa-apa, saya lihat pemerintah sekarang sangat kuat di DPR. Bayangkan, selain partai pengusung, pemerintah juga mendapat dukungan dari fraksi Gerindra dan PAN. Lengkapnya sudah menguasai 7 fraksi dari total 9 fraksi.
Ini adalah saat yang tepat bagi PD dan PKS untuk mengambil sikap sebagai oposan, seperti sikap PDI Perjuangan selama SBY—mantan Ketua Umum PD—sebagai presiden. Kalau perlu dalam setiap pembahasan, berlaku kritis dari awal.
PKS pada saat itu juga masuk dalam kabinet bersama PD. Jadi sudah pernah punya chemistry. Tidak salah jika sekarang berkoalisi untuk oposisi. Kalau perlu instruksikan pengurus dan kader ikut serta.
Momentum berikutnya milik petulang politik. Kelompok ini tidak bisa dijelaskan secara gamblang. Bagaikan—maaf—kentut:senyap tapi ada.
Bagi mereka, Indonesia tidak boleh aman, harus kacau, kalau perlu bubar, ganti haluan.
Mereka tidak mungkin berdiri di depan. Harus menjadi bunglon. Menempel pada gerakan-gerakan moral-politik yang sudah ada. Mereka ada di berbagai lini. Ada penjaga gawang, bertahan, pengatur serangan, jarang menjadi penyerang, takut ketahuan.
Terakhir, inilah momentum bagi Korona. Pengunjuk rasa tidak terkontrol, tidak ada protokol kesehatan. Jumlahnya ribuan. Apa jadinya jika diantara mereka itu ada yang sudah terpapar.
Semoga tidak ada kluster pengunjuk rasa setelah aksi.
Itulah beberapa momentum yang terjadi karena Undang-undang Cipta Kerja. Sejarah akan mencatat, siapakah yang memanfaatkan momentum dengan benar. Mahasiswa—plus buruh dan pelajar–kah? Pemerintah dan DPR kah? Petualangkah? Koronakah?
Saya belum habis membaca Cika itu, jadi belum bisa berpendapat. Sekurang-kurangnya, saya harus proporsional. Menolak sebagian isi—jika ada—yang memposisikan tenaga kerja sebagai sapi perah dan mengancam keselamatan masyarakat.
Mendukung untuk beberapa—jika iya—mempermudah perizinan usaha UMKM, mempercepat proses pendaftaran HAKI dan upaya untuk mendongkrak perekonomian nasional yang sudah terpuruk akibat pandemi. Baik yang setuju atau tidak, itu hanya contoh.
Korona telah menjadi ilalang kering, yang sedikit saja disiram minyak akan menghanguskan lahan. Presiden Trump dibuat pusing oleh unjuk rasa gegara kematian seorang warga kulit hitam.
Hongkong juga digoyang pengunjuk rasa yang memprotes usulan undang-undang keamanan nasional China untuk Hongkong.
Lebanon juga dilanda unjuk rasa pasca ledakan di sekitar dermaga Bairut. Pemerintah dianggap tidak bisa berbuat apa-apa.
Israel juga gempar dengan aksi unjuk rasa yang menuntut Benjamin Netanyahu mundur dari Perdana Menteri, karena korupsi.
7 orang pengunjuk rasa tewas di Afganistan. Sebab memprotes pembagian logistik akibat Covid-19 yang dianggap tidak merata.
Semua unjuk rasa itu terjadi selama pandemi menyasar negeri. Tidak berlebihan menyebut Korona sebagai ilalang kering di lahan tandus.
Jangan sampai, Cika menjadi api yang siap membakar ilalang kering di Indonesia.
Presiden Joko Widodo harus menghitung dengan cermat. Harus mampu mengatasi stabilitas nasional. Jangan sampai Cika ini menjadi api yang akan membakar ilalang kering. Jika demikian, sejarah akan mencatat Presiden gagal memanfaatkan momentum.
Dan, sebaliknya, jika ekonomi bisa pulih, dunia usaha kembali bergeliat, lapangan kerja terbuka luas, yang ujung-ujungnya meningkatkan kesejahteraan rakyat, Jokowi akan dikenang sebagai Presiden–awalnya di tuduh tidak tegas, planga-plongo—yang berani tidak populer dan berani mengambil resiko, walaupun dari sipil…[Alja Yusnadi]