Oleh: Alja Yusnadi
Biden itu aslinya Zainal Abidin. Kamalla Haris itu berasal dari Keumala. Celoteh kawan saya, mengomentari terpilihnya Joe Biden dan Kamalla Haris sebagai Presiden dan Wakil Presien Amerika Serikat.
Tentu, kawan saya itu hanya bergurau. Baik Biden maupun Kamalla tidak ada hubungannya dengan Zainal Abidin atau Keumala—sebuah kecamatan di Pidie.
Yang jelas, Amerika memiliki pemimpin baru. Keduanya merupakan politisi Partai Demokrat. Biden pernah mendampingi Obama sebagai Wapres selama dua periode. Biden juga pernah berkiprah sebagai anggota senat. Biden Demokrat sejati.
Kamalla juga bukan Demokrat kemarin sore. Dia pernah menjadi jaksa di Distrik San Fransisco, jaksa Agung California, pernah menjadi Senat dari California, sampai Demokrat menugaskannya mendampingi Biden.
Di Amerika pertarungannya hanya antara Partai Demokrat dan Partai Republik. Biden mengalahkan calon presiden dari Partai Republik yang juga calon incumbent, yang Anda juga pasti sudah tahu siapa orangnya.
Presiden dan Wakil Presiden berasal dari partai yang sama, dari idiologi politik yang sama. Beda dengan Indonesia, partai banyak sekali, pasangan calon presiden hanya dua.
Bisa jadi, antara calon presiden dan calon wakil presiden berasal dari latar belakang dan idiologi politik yang berbeda. Lihat saja antara Joko Widodo dengan Ma’ruf Amin atau Prabowo Subianto dengan Sandiaga Uno.
Indonesia tidak harus sama dengan Amerika, dengan Inggris, dengan Arab Saudi, dengan Tiongkok. Indonesia tetaplah Indonesia dengan Pancasilanya yang tidak dimiliki oleh negera manapun di dunia ini.
Pancasila itu tidak terlalu kiri dan tidak pula terlalu kanan. Pancasila itu berbeda dengan liberalisme, Pancasila juga tidak sama dengan Komunisme. Pancasila digali dari nilai-nilai yang sudah hidup lama di Nusantara.
Yang diperlukan itu rumusan lebih detail tentang ekonomi pancasila, politik Pancasila, demokrasi Pancasila, dan semuanya tentang Pancasila. Mungkin juga sitem pemerintahan Pancasila.
Balik ke Amerika. Saya memang belum pernah ke sana, dan belum berencana untuk ke sana. Saya hanya melihat dari kejauhan. Sebagai negara adikuasa dan polisi dunia, membuat Amerika diikuti setiap perkembangannya oleh siapa saja, balik kawan maupun lawan.
Politik internal Amerika mempengaruhi kebijakan luar negeri dan mempengaruhi pula stabilitas dalam negeri negara lain, terutama negara ketiga, atau negara miskin atau negara lemah atau atau negara berkembang, atau negara pengekor.
Lihat saja, bagaimana Amerika bermain dalam konflik negara teluk. Bermain dalam krisis Libya, Irak, Syria, Lebanon, dan seterusnya. Negara-negara lain tidak bisa merdeka sepenuhnya dari intervensi negara yang satu ini, mungkin juga Indonesia.
Dulu, kekuatan Amerika diimbangi oleh Soviet. Kemudian runtuh. Muncul Rusia. Jika Amerika beraliran liberal, Soviet beraliran Komunis.
Sekarang, lawan Amerika itu Tiongkok. Entah lawan benaran atau hanya lawan-lawanan saja. Jelasnya, jika Amerika di sebalah kanan, Tiongkok disebelah kiri. Mungkin juga, pada tahap tertentu mereka berselingkuh, bersetubuh.
Di Amerika sendiri, Republik beraliran konservatif. Walaupun sama-sama Liberalisme, Republik bepandangan warga Amerika harus dilindungi dari warga negara lain-migran. Seharusnya warga negara Amerika diberikan keutamaan. Partai Demokrat kelihatan lebih menerima Imigran.
Perbedaan cara pandang itu berlanjut untuk isu yang lain. Singkatnya, lihatlah Trump yang Republik dan lihatlah Obama yang Demokrat.
Keberpihakan Demokrat tehadap persamaan hak, dapat dilihat dari ditunjuknya Kamalla sebagai cawapres. Kamalla merupakan keturuan Imigran. Dia masih ada hubungan dengan India dan Jamaika, negara asal kedua orangtuanya, Ayah dan Ibunya. Makanya, selebrasi kemenangan Biden-Kamalla tidak hanya di Amerika, tapi juga di India, Jamaika.
Dan, Kamalla satu-satunya Wapres Amerika yang berjenis kelamain perempuan. Padahal, Amerika adalah “kiblat”nya demokrasi. Dalam hal ini Indonesia lebih maju. Sudah memiliki Wapres perempuan pada tahun 1999. Dan Presiden perempuan pada tahun 2001, dengan orang yang sama: Megawati Soekarno Putri.
Trump sepertinya sudah sangat konservatif, bahkan ekstrem-konservatif. sebagian politisi Republik memilih bersebrangan dengan Trump. Trump pun berniat mendirikan partai baru: Partai Pelopor.
Suami Melania itu tidak sungkan menarik isu SARA ke tengah panggung politik. Hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia beberapa tahun silam.
Ada demo di gedung Capitol. Meminta pembatalan kemenangan Biden. Ada upaya yang sangat keras menolak hasil pemilu. Kali ini, Amerika kembali meniru Indonesia, lebih tepatnya meniru apa yang dilakukan kubu Prabowo.
Perilaku itu bisa saja berasal dari gagasan Trump, bisa juga dari kesadaran kolektif pendukung Trump, tidak tertutup kemungkinan berasal dari konsultan politik Trump. Saya lihat banyak kesamaan dengan salah satu kubu capres di Indonesia. Trump juga membuka rekening donasi, strategi yang hampir sama juga terjadi di Indonesia. Mungkin juga, konsultan politiknya dari perusahaan yang sama.
Sampai saat ini, Trump masih belum menerima hasil pemilu. Biden pun sudah dilantik beberapa hari yang lalu melalui sebuah perayaan sederhana di tengah pandemi.
Begitu banyak perbedaan Biden dan Trump, selain sama-sama sudah di atas 70 tahun. Semoga duet Demokrat ini dapat membawa angin segar bagi imigran, bagi negara-negara kecil, dan bagi seluruh dunia.
Sepertinya, mengahrapkan Trump mau menjadi Menhannya Biden agak berat. Karena di Amerika hanya ada dua partai yang sama-sama besar, sama-sama banyak pendukung dan tidak sama secara idiologi-politik. Selamat Ajo Biden dan Kak Mala..