Oleh: Alja Yusnadi
Protes itu semacam ekpresi ketidaksetujuan, menyangkal, menentang dan seterusnya. Misalnya, Anda tidak setuju dengan pendapat saya, silakan Anda protes, silakan Anda kirim tulisan bantahan ke Ghibahin.id, misalnya. Wujud protes itu bermacam corak dan bentuknya. Ada orang, mengekspresikan ketidak setujuan dengan cara memberi argument yang berbeda Ada lagi mengekspresikan ketidaksetujuan dengan unjuk rasa sampai berjilid-jilid. Ada yang saling lempar microphone, lempar kursi, lempar botol air mineral, seperti yang dipraktekkan oleh wakil-wakil kita. Ada juga, ekpresinya hanya diam, cukup mendongkol di dalam hati saja, atau melampiaskan ke Diary.
Protes itu bisa dilakukan siapa saja, anak-anak, remaja, orang dewasa, buruh, karyawan, manajer. Singkatnya, siapa saja pernah melakukan protes, termasuk Anda. Namun, apa jadinya jika protes itu dilakukan oleh ibu-ibu?
Itulah yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir. Ibu-ibu komplek, ibu-ibu di pasar, ibu-ibu di dapur melakukan protes. Sependek pengetahuan saya, Ada dua hal yang diprotes. Pertama, ibu-ibu protes terhadap Layang-layang Putus, yang kedua perihal naiknya harga minyak goreng. Kalau ada yang ketinggalan, silakan ditambah.
Protes yang pertama, saya tidak begitu mengikuti alur ceritanya. Bukan apa-apa, saya hampir tidak pernah menonton tayangan yang dramatis itu, kecuali membaca beberapa cuplikan tulisan yang pulang-pergi di halaman media sosial dan beberapa video singkat yang diplesetkan dari potongan cerita Layang-layang putus.
Saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang perfilman, saya tidak mengerti apa yang menjadi ukuran baik-buruk dari karya para sineas itu. Namun, saya cukup menikmati beberapa film yang diperagakan oleh Reza Rahardian yang tidak lain dan tidak bukan adalah pemeran utama laki-laki dalam Layang-layang Putus.
Lalu, apa yang diprotes oleh para ibu itu? Seperti yang Anda tahu, Film itu menyentuh hal yang paling sensitive dalam hubungan rumah tangga, apa itu? Perselingkuhan, percintaan segitiga yang melibatkan satu laki-laki dan dua perempuan. Hal itulah yang membuat ibu-ibu protes. Memprotes naskah film yang dianggap begitu menyakitkan hati perempuan. Jangan-jangan, protes—mencurigai—berlanjut ke rumah tangga, kepada suami.
Dalam bentuk lain, kisah asmara, baik segi dua, segitiga, bahkan segi yang membentuk prisma, dengan sangat mudah kita temukan. Di balik kisah heroik tokoh-tokoh dunia, selalu ada bumbu-bumbu asmara yang membuat kita tidak jengah untuk membaca kisahnya. Biar tidak bias, saya kemukan satu contoh saja: Samson, manusia super kuat itu. Bertekuk lutut di bawah pengaruh asmara. Anda bisa melanjutkan urutan-urutan kisah itu, mulai dari skala dunia, benua, kawasan, nasional, regional, sampai di sekeliling kita, atau jangan-jangan kisah itu kita menimpa diri sendiri.
Protes yang kedua, saya temukan di lorong-lorong pasar tradisional, di kios-kios kecil di dekat rumah. Suatu hari, saya mendapat tugas belanja sayur dan kebutuhan dapur. Seperti biasa, setelah membeli santan kelapa langganan saya, membeli beberapa ikat sayur, satu ons cabe rawit dan cabe merah kriting, saya menuju lapak minyak goreng. “Kosong bang,” ucap penjual minyak goreng seraya menyebut salah satu merk. Terdengarlah suara beberapa orang ibu memprotes harga minyak goreng. Rupanya, sudah beberapa hari harga minyak goreng naik, dan langsung direspon oleh pasar.
Inilah salah satu penyakit yang belum bisa sembuh total. Dalam skala yang lebih luas, pangan dan kebutuhan pokok belum bisa distabilkan, baik dari sisi ketersediaan, akses, maupun harga. Persoalan pangan tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Bukan apa-apa, kecendrungan hanya ada beberapa produsen, sementara konsumen terbentang luas dari Sabang hingga Merauke. Jika pemerintah tidak hadir, bisa-bisa harga pangan melambung tinggi.
Ada beberapa sebab naiknya harga minyak goreng. Pertama, naiknya harga Cruit Palm Oil (CPO) di pasar dunia. Hal ini mendorong produsen CPO dalam negeri untuk mengeksport produknya. Satu sisi, besarnya eksport ini memberikan kontribusi terhadap pertambahan nilai eskport Indonesia, di sisi lain menyebabkan terjadinya kelangkaan minyak sawit untuk industri minyak goreng dalam negeri.
Kedua, terjadinya penimbunan minyak goreng. Sebagaimana kata pepatah, di mana ada gula, di situ ada semut. Beberapa pengusaha nakal merespon kenaikan harga minyak goreng dengan cara menahan stock, sehingga menyebabkan kelangkaan minyak goreng di pasar. Jika sudah begini, berlakulah hukum pasar, permintaan tinggi, harga juga ikut naik.
Pemerintah harus mampu memetakan permasalahan minyak goreng ini dan juga untuk berbagai komoditi pangan yang lain. Pemerintah harus mengatur kuota eksport CPO agar tidak mengganggu industri minyak goreng dalam negeri. Pemerintah juga harus inten melakukan pengawasan terhadap perdagangan bahan pangan, jangan sampai terjadi penimbunan.
Lalu, bagaimana dengan protes ibu-ibu tadi? Saya satu barisan, untuk kedua protes itu. Jangan sampai, protes-protes di pasar, di kios itu berlanjut ke jalan, ke senayan, dan ke istana negara. Bisa Anda bayangkan jika ibu-ibu bersama alat masaknya melakukan aksi unjuk rasa? Bisa game over, karena:” Ibu-ibu bersatu tak dapat dikalahkan”
*Tulisan ini sudah pernah tayang di https://www.ghibahin.id/esai/protes-ibu-ibu/