Oleh: Alja Yusnadi
Kali ini, kita main-main ke Jember. Salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur. Provinsi ini memiliki cukup banyak pemimpin perempuan, mulai dari Gubernurnya perempuan, Walikota Surabaya, hingga Bupati Jember.
Saya belum pernah ke Jember dan tidak mengenal satu pun politisi di sana, termasuk Faida sang Bupati yang akan saya singgung dalam Mata AY kali ini.
Yang menarik saya untuk menulis tentang Bupati cantik ini adalah perihal dirinya dimakzulkan DPRD.
Pemakzulan ini, walau dibolehkan oleh aturan perundang-undangan, tapi sangat sulit menjalankannya, apalagi dengan sistem pemerintahan kita yang Presidensial. Rasanya terlalu jauh untuk DPRD memakzulkan Bupati.
Tapi, DPRD Jember telah melakukannya. Menarik juga sekali-kali DPRD lain studi banding ke Jember.
Sebelumnya, nama Faida jarang kita dengar dalam balantika politik nasional. Tapi, beberapa hari ini, nama Faida membanjiri media masa. Oleh karena itu pula mendorong saya untuk mengulik tentang Faida.
Saya mendapat beberapa informasi dasar. Faida adalah seorang dokter dan pengusaha bidang kesehatan. Dia meneruskan usaha rumah sakit yang sudah dirintis oleh ayahnya.
Pada Pilkada 2015, Faida berpasangan dengan Kiyai Muqit Arif, salah satu pengasuh pondok pesantren di Jember.
Faida diusung oleh Nasdem, PDI-P, PAN. Ketiga partai ini juga mendukung pemakzulan Faida.
Ini adalah jabatan pertama Faida sebagai Bupati Jember. Untuk periode selanjutnya, nampaknya Faida tidak menggunakan jalur partai politik. Faida maju lewat jalur independen.
Faida termasuk Bupati yang berani “melawan” DPRD. Dia memilih tidak hadir di saat DPRD menggelar sidang pemakzulan dirinya.
Sependek pengetahuan saya, sangat sedikit Bupati yang dimakzulkan DPRD. Sebelum Jember, ada Garut. Pada saat itu DPRD memakzulkan Bupati Aceng Fikri karena tuduhan amoral.
Sekarang, Faida dimakzulkan karena dianggap melanggar sumpah jabatan dan melanggar aturan perundang-undangan. Faiza mencetak rekor, sebagai Bupati perempuan yang pertama dimakzulkan.
Benarkah demikian? Ada beberapa kasus yang dijadikan alasan pemakzulan, diantanranya:
Pertama, Kebijakan Bupati mengeluarkan Perbup tentang Kedudukan Susunan Organisasi Tata Kerja yang tidak mengindahkan ketentuan. Akibatnya, Jember tidak mendapat kuota Calon Pegawai Negeri Sipil (SPNS) dan P3K tahun 2019.
Kedua, Bupati melakukan mutasi dengan melanggar sistem merit dan aturan kepegawaian membuat Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menjatuhkan rekomendasi yang wajib dilaksanakan oleh Bupati.
Ketiga, penilaian Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan keuangan Jember Disclaimer. Keempat, Diduga ada pelanggaran Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Bupati tentang Hibah/Bansos.
Setidaknya, itulah beberapa alasan DPRD Jember melakukan pemakzulan.
Sebelum sampai kepada Hak Menyatakan Pendapat (HMP), DPRD Jember terlebih dahulu menggunakan Hak Interpelasi dan Hak Angket.
Hak Interpelasi digunakan DPRD Jember untuk meminta keterangan mengenai kebijakan Pemerintah yang dianggap tidak sesuai aturan perundang-undangan. Sidang paripurna dilaksanakan pada 27 Desember 2019.
Faida tidak menghadiri sidang, karena berbagai alasan. Menindaklanjutinya, DPRD Jember kembali menggunakan Hak Angket pada 20 Maret 2020. Melalui Hak Angket, DPRD Jember melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap ngawur.
Bupati kembali tidak hadir. Bahkan mengintruksikan jajarannya untuk tidak menghadiri undangan rapat dari DPRD.
Terakhir, DPRD menggunakan jurus pamungkasnya, yaitu Hak Menyatakan Pendapat. Uniknya, Sidang pemakzulan ini disetujui oleh semua fraksi yang ada di DPRD Jember, termasuk fraksi partai pengusung.
Faida kembali tidak hadir pada sidang yang dilaksanakan pada hari Rabu (22/7) itu.
Saya tidak tahu apa yang melatar belakangi Faida begitu menjaga jarak dengan DPRD.
Apa yang sedang dipertontonkan oleh Faida dan DPRD Jember adalah preseden buruk bagi iklim demokratisasi politik lokal.
Secara administrasi DPRD tidak bisa memberhentikan Bupati. namun secara politik, Faida sudah kehilangan legitimasi.
Untuk selanjutnya, nasib Faida ada ditangan Mahkamah Agung (MA) dan Mendagri. Jika MA mengeluarkan fatwa sesuai dengan keputusan DPRD, Mendagri akan memberhentikan Faida dari Bupati.
Jika MA memfatwakan lain, paling tidak Faida sudah kehilangan muka di forum-forum DPRD Jember.
Apapun keputusannya nanti, yang jelas DPRD Jember telah menampakkan taringnya. Telah menjalankan fungsinya, menggunakan hak yang diberikan Undang-undang: Hak Interpelasi, Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat.
Di sisi lain, apa yang terjadi di Jember adalah potret buruk relasi Eksekutif dan Legislatif.
Imbas dari hubungan yang tidak harmonis kedua lembaga tersebut adalah terganggunnya proses pembangunan daerah. Semoga saja tidak diikuti oleh Kabupaten/kota lainnya…[]
Keterangan Foto: Bupati Jember Faida (CNN Indonesia)