Oleh: Alja Yusnadi
Masih banyak yang saya tidak tau di dunia ini, salah satunya adalah Klepon. Setelah ramai dibahas warganet, saya baru tahu, bahwa yang dimaksud adalah Boh Rom Rom, kue yang sering saya makan.
Kalau saja Boh Rom-Rom ini sejenis saham, saya yakin harga jualnya naik signifikan. Apa hendak dikata, dia hanyalah sejenis masakan ringan, kuliner nusantara.
Biasanya, permintaan Boh Rom-Rom meningkat di saat bulan puasa. Orang-orang membuat atau membelinya sebagai penganan berbuka puasa.
Tapi, kali ini, Boh Rom-Rom menjadi tranding topik di media sosial. Media online seperti Detik.com, tirto.id ikut-ikutan membahasnya.
Apa gerangan? Rupanya ada upaya meng-agamakan Boh Rom-Rom. Entah itu untuk becanda ataupun serius. Si Empu itu mengatakan lebih kurang “Boh Rom-Rom itu tidak islami, tinggalkan, beralihlah ke Kurma yang lebih syariat.”
Tidak begitu jelas apa yang melatarbelakangi dia membuat pernyatan seperti itu. Apakah bagian dari kampanye toko penjual Kurma, satire, atau memang sesuai dengan teks. Yang pasti, upaya untuk mengislamkan Boah Rom-Rom adalah perbuatan sia-sia.
Coba Anda bayangkan, bagaimana repotnya hidup ini ketika hendak makanpun kita harus menanyakan agama kue nya. Mau makan mie goreng Aceh, kita harus menanyakan atau meminta identitas, “Wahai Mie goreng, apa agama mu,” selain sia-sia, saya takut Anda akan dikira gila. Maka saya sarankan jangan dilakukan.
Semoga saja dia lagi promosi toko Kurma. Jadi, kita tidak perlu was-was.
Boh Rom-Rom tidak menjadi kuliner khas daerah tertentu, kita bisa menemukannya dengan mudah di berbagai daerah: Aceh, Padang, Medan, Sulawesi, Bali, Lombok, sampai Jakarta.
Masing-masing daerah memiliki nama tersendiri, di Padang disebut dengan onde-onde, di Aceh disebut Boh rom-rom.
Boh rom-rom ini merupakan kudapan yang disukai berbagai lidah. Mulai lidah orang Aceh yang menyukai pedas sampai lidah orang Jawa yang menyukai manis. Makanya bisa kita jumpai dimana saja. Mulai pasar kaki lima hingga restoran berbintang.
Kalau ada salah satu persamaan dari banyaknya perbedaan kita di nusantara ini, itulah penerimaan kita terhadap Boh Rom-Rom. Saya pernah merasakan Boh Rom-Rom yang di hidangkan dalam sebuah jamuan tingkat tinggi, hingga buatan sendiri.
Bagi saya, memakan dan membuat Boh Rom-Rom itu memiliki sensasi tersendiri. Bagi Anda yang belum pernah memakannya, pasti terkejut di saat pertama sekali mencicipinya. “Plak” gula merah nya moncret di dalam mulut.
Kita lihat di permukaan, hanya ada kelapa kukur, rupanya begitu digigit ada sesuatu yang kenyal di dalamnya. Boh Rom-Rom mengajarkan kita, jangan melihat dari luarnya saja, masuklah ke dalam.
Membuat Boh Rom-Rom–jika tau caranya–tidaklah sulit. Adonan tepung ketan, pewarna dan air. Semuanya diaduk dengan tangan, dibentuk seperti cekungan.
Selanjutnya, cekungan diisi dengan gula merah dan adonan dibulatkan kembali. Kemudian direbus hingga mengapung, ditiriskan, barulah digulingkan dalam kelapa kukur. Setidaknya, begitu saya melihat istri membuat Boh rom-rom.
Balik lagi kita ke pernyataan si Empu tadi, bagaimana dia mengatakan Boh Rom-Rom tidak islami. Kudapan ini juga menjadi menu di saat orang berbuka puasa, termasuk juga jamaah sulok.
Alih-alih tidak islami, suatu waktu di saat memakan Boh Rom-Rom dapat menguatkan relationship dengan Tuhan, bukankah itu yang ditunggu-tungu? Nah, kan. Makanya, mulai sekarang, hentikan pernyataan bodoh seperti itu, kecuali untuk lucu-lucuan saja…[]
Sumber Foto: Suara.com