Oleh: Alja Yusnadi
Kemarin, saya mendapat berita duka. Paginya, M. Hamzah, orangtua Fahri Hamzah meninggal dunia. Sorenya, musibah itu menimpa saya, salah satu adik ibu saya meninggal dunia.
Namanya Safrial. Terakhir saya mengunjunginya satu bulan yang lalu. Dalam budaya tutur masyarakat Aceh, memanggil adik ibu dengan sebutan cutbit.
Belakangan, Cutbit memang agak terganggu kesehatannya. Berdasarkan keterangan dokter, terjadi gangguan fungsi hati.
Cutbit sudah berusaha untuk berobat ke dokter dan ke tabib. Dia sudah menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik. Dia tidak menyerah begitu saja, dia brikhtiar dan berdoa.
Saya hendak mengajaknya berobat, minal ke Banda Aceh, namun karena Korona Cutbit tidak mau. Saya pikir betul juga, dan berencana mengajaknya kembali setelah lebaran Haji.
Namun Allah berkehendak lain. Allah lebih memilih memanggil Cutbit untuk pulang. Pulang ke alam yang hakiki, yang kita tidak pernah tau bagaimana bentuknya.
Kepergiannya begitu tenang, menjelang kematian, tidak ada keluhan sakit, hanya drop untuk beberapa saat, kemudian dilarikan ke rumah sakit Yuliddin Away, Tapaktuan.
***
Sebagai adik ibu, cutbit adalah tempat yang paling tepat bagi saya untuk merengek. Saya masih ingat, sekira 30 tahun yang lalu, waktu itu cutbit masih muda, gagah sekali, sementara saya masih kecil, yang bisanya cuma menangis minta dibelikan mainan.
Cutbit muda bagi saya adalah pahlawan. Sebagai cucu yang paling tua dari pihak Ibu, rengekan saya tak bisa ditolak Cutbit.
Suatu ketika, saya meminta Cutbit membuatkan mobil-mobilan dari pelepah rumbia. Cutbit berusaha membuatnya, saya senang bukan kepalang.
Beberapa hari setelah itu, saya merengek lagi, untuk dibuat mobil-mobilan yang lebih besar, lebih kokoh. Besok, dia memberikan mobil-mobilan yang lebi besar, bukan dari pelepah rumbia.
Ternyata, cutbit membelinya ke kota.
Begitulah untuk seterusnya, hingga Cutbit menikah. Di waktu yang lain, di saat Cutbit menikahpun, saya sering dibantu Cutbit. Saya senang sekali di saat dia mengajari saya bagaimana mengendarai sepeda motor.
Cutbit memang hanya pemuda desa. Tapi ulet. Hampir semua yang ditekuninya berhasil, sampai mentok. Sebagai petani, dia bisa membeli kendaraan dan membuat rumah dari hasil peluhnya.
Sekarang, cutbit telah tiada. Cerita ini saya tulis sebagai pengingat. Bahwa pernah hidup seorang laki-laki, yang begitu baik di tengah kehidupan saya.
Sebagai makhluk yang bernyawa, semua kita akan ke sana. Saya, Anda, dan siapapun juga. Kematian adalah suatu kepastian.
Dalam dua bulan terakhir, saya kehilangan dua orang keluarga. Menjelang lebarann puasa, Makpo, Ibu dari Cutbit yang juga Ibu dari Ibu saya meninggal dunia, sekarang Cutbit.
Semoga, yang maha kuasa menempatkan Makpo, Cutbit, dan juga Pak Hamzah di sisi-Nya. Semoga amal baik menemani mereka, termasuk mainan yang pernah saya terima…[]