Oleh: Alja Yusnadi
Stiker itu adalah lembaran kecil yang terbuat dari bahan kertas atau plastik yang ditempelkan. Fungsinya untuk memberitahukan. Kalau musim pemilihan—mulai pilih Presiden, DPR, Kepala Daerah, DPRD, sampai pilih Geuchik—peminat stiker berlipat-lipat jumlahnya.
Ada yang berbentuk wajah, nama, program kerja, janji, atau apa saja yang tujuannya memberi tahu pemilih, dia layak dipilih. Dia berharap dengan stikernya itu dapat mempengaruhi pemilih.
Saya juga pernah melakukannya. Tim kreator menyarankan agar membuat stiker, terpampanglah wajah saya di dalamnya. Namun, itu hanya untuk gagah-gagahan saja, biar tim kreator dan pendukung senang. Karena, sependek pengetahuan saya, sedikit sekali orang memilih gegara stiker.
Kali ini kita tidak membicarakan stiker dalam bingkai pemilihan. Karena memang belum waktunya. Akan tetapi membicarakan perihal stiker Pemerintah Aceh. Baru-baru ini, Pemerintah Aceh menggunakan stiker untuk menandai kendaraan roda empat yang mengisi bahan bakar bersubsidi.
Saya tidak begitu jelas, apakah stiker BBM ini masuk ke dalam salah satu program Aceh Hebat yang diusung Irwandi-Nova pada masa kampanye dulu. Misalnya Aceh hemat BBM, atau Aceh Stiker. Dugaan saya, itu samasekali bukan bagian dari program Aceh hebat.
Gubernur Aceh mengeluarkan Surat Edaran No. 540/9186 tahun 2020 tentang Program Stikering pada Kendaraan sebagai Strategi Untuk Penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) yang Tepat Sasaran.
SE Gubernur itu di teken oleh Plt. Gubernur Aceh pada tanggal 2 Juli 2020, namun baru beberapa hari kebelakang di launching. Beberapa isinya, antara lain menyebutkan, kendaraan yang berhak menggunakan jenis bahan bakar minyak tertentu (solar subsidi) maupun jenis bahan bakar khusus penugasan (premium) dan ditempel stiker adalah kendaraan yang telah lunas membayar pajak.
Stiker tersebut ditempel pada kendaraan roda empat secara sukarela, tanpa memperhatikan tingkat kemewahan kendaraan. Dan kendaraan berstiker itulah nantinya yang boleh mengisi premium dan solar.
Apa yang ingin dilakukan oleh Pemerintah Aceh dengan stikernya itu? ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan, diantaranya: mengurai antrian di SPBU, memastikan BBM bersubsidi tidak disalah gunakan, dan menghindari pemakaian BBM bersubsidi melebihi kuota yang telah ditentukan.
Selama ini memang terlihat antrian di banyak SPBU, terutama pada malam hari. Ramai-ramai mengisi BBM bersubsidi, karena harganya lebih murah. Akan tetapi, apakah antrian itu berpengaruh terhadap pelayanan publik, kinerja Pemerintah Aceh? Tentu tidak.
Jika ingin menertibkan penggunaan BBM bersubsidi, yang pertama sekali diatur adalah, siapakah yang bisa memakai BBM bersubsidi itu? Apakah ada korelasinya dengan program pemerintah yang lain? Misalnya Program Keluarga Harapan, atau ada kriteria tersendiri.
Apakah dilihat dari sisi pendapatan atau pengeluaran, sehingga yang berhak mengisi BBM bersubsidi adalah masyarakat kurang mampu. Kalaulah itu yang jadi patokan, tidak mungkin masyarakat kurang mampu memiliki kendaraan roda empat, walaupun itu dalam bentuk cicilan.
Karena, salah satu indikator kurang mampu adalah memiliki pengeluaran di bawah Rp. 401.220 per orang per bulan atau setara 13.374 per hari. Jika diasumsikan satu keluarga terdiri dari Ayah, Ibu, anak dua orang anak, maka rata-rata pengeluaran adalah Rp. 1,6 juta. Kalau ini dasarnya, mana sempat membayar cicilan mobil.
Atau bisa juga diatur dari spesifikasi kendaraan. Misalnya, kendaraan yang berhak mengisi BBM bersubsidi adalah kendaraan 1500 cc ke bawah.
Bisa juga diatur berdasarkan peruntukannya. Misalnya, BBM bersubsidi khusus untuk angkutan umum, seperti labi-labi (angkutan kota), pelaku UMKM, atau semacamnya.
Tidak alang-kepalang, saya mempertanyakan hal ini, karena setelah mebolak-balik Perpres No. 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Bahan Bakar Minyak tidak diatur spesifik mengenai kendaraan pribadi ini. Bukan apa-apa, SE Gubernur itu merujuk kepada Perpres tersebut.
Yang jelas disebut adalah ambulan, pemadam kebakaran, nelayan, pelaku UMKM, petani, kendaraan umum, dan beberapa yang lain, itupun setelah mendapat rekomendasi instansi terkait. Saya tidak membaca ada pembatasan terkait kendaraan milik pribadi.
Aturan itu adalah untuk menciptakan keteraturan, bukan malah jadi sembraut. Walaupun hanya melalui SE, akan tetapi sudah mengatur masyarakat banyak.
Kenapa Pemerintah Aceh berinisiatif membuat program stikering BBM bersubsidi itu? Padahal, katau merujuk kepada Perpres No. 191 tahun 2014, peran pengawasan menjadi kewenangan badan pengatur.
Silahkan saja Pemerintah Aceh membantu tugas badan pengatur. Alangkah lebih bagusnya lagi, hal itu dilakukan ketika tugas pokok, program pokok sudah berjalan lancar.
Sebenarnya, pengawasan ketat juga harus dilakukan di SPBU, jangan sampai premium dan solar dijual ke penimbun atau ke agen yang mendistribusikan kepada industri.
Mudah-mudahan, stikernisasi ini berjalan maksimal, Pemerintah Aceh bersama badan pengatur dapat mengatur peredaran barang subsidi ini dengan sebaik-baiknya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya pula.
Kalau tidak, patut dicurigai, program stikernisasi ini adalah program tempel borok, apalagi jika anggarannya bersumber dari anggaran refosucing penanggulangan Covid-19.