Oleh: Alja Yusnadi
Jalan itu sangat penting untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Jalan adalah penghubung satu dusun dengan dusun lain. Satu gampong dengan gampong lain. Satu kecamatan dengan kecamatan lain, satu kabupaten dengan kabupaten lain, bahkan menghubungkan satu provinsi dengan provinsi lain. Mungkin juga menghubungkan negara dengan negara.
Saking pentingnya, Presiden Joko Widodo di periode ke duanya ini membangun banyak ruas jalan tol yang menghubungkan beberapa Provinsi. Seperti Tol Sumatera yang menghubungkan Aceh, Sumatera Utara sampai Lampung.
Peran jalan sangat vital. Untuk menunjang pendidikan. Menunjang ekonomi. Menunjang kesehatan, hingga menunjang keamanan dan pertahanan.
Dulu, dari Tapaktuan ke Banda Aceh menghabiskan waktu berhari-hari. Sekarang sudah bisa ditempuh kurang dari 10 jam. Dari rumah ke sekolah menghabiskan waktu berjam-jam. Sekarang dapat ditempuh dalam waktu beberapa menit. Itu semua karena jalan.
Begitulah pentingnya jalan untuk menopang aktivitas kita, sehari-hari.
Saking pentingnya, nama jalan juga tidak sembarang. Kebanyakan memiliki nilai historisnya. Coba perhatikan jalan di sekitar kita, pasti namanya diambil dari nama pejuang, tokoh masyarakat, singkatnya yang memiliki kontribusi untuk daerah, sesuai tingkatannya.
Tidak selalu linear, bisa juga diagonal. Bayangkan, di Aceh Barat ada nama jalan Sisinga Mangaraja. Di Banda Aceh ada nama jalan KH. Ahmad Dahlan.
Sisingamangaraja adalah pejuang dari Suamtera Utara. Pemerintah Aceh Barat menabalkan namanya untuk menjadi nama ruas jalan. Begitu juga KH. Ahmad Dahlan, Tokoh nasional kelahiran Yogyakarta, dijadikan nama jalan di Banda Aceh.
Begitu juga dengan Teuku Umar, pahlawan dari Aceh, menjadi nama jalan di Jakarta. Mungkin juga di daerah-daerah lain.
Penabalan nama jalan merupakan bentuk lain dari mengingat jasa para pahlawan, tokoh yang sudah berjasa.
Bahkan, pengakuan itu juga dilakukan antar negara. Nama Ir. Soekarno atau Presiden Soekarno pernah dijadikan nama jalan di Mesir dan Maroko.
Di Aceh, ada beberapa ruas jalan yang menggunakan nama Soekarno. Seingat saya, satu ruas jalan di Nagan Raya. Satu lagi di ruas jalan Banda Aceh-Aceh Besar, jalan Soekarno-Hatta.
Sempat ada usulan, jalan di seputaran Tugu Darussalam juga dijadikan jalan Soekarno. Karena mengingat Darussalam sebagai kota pelajar, tidak bisa dipisahkan dengan nama Soekarno. Tanda tangan Soekarno masih hidup di tugu Darussalam itu, sebagai Presiden Indonesia.
Mohammad Hatta, RA Kartini, Sutan Sjahrir, Pattimura, Munir juga dijadikan nama jalan di Belanda.
Terbaru, Presiden Joko Widodo juga diabadikan menjadi nama jalan di Abu Dhabi, Ibukota Uni Emirat Arab (UEA).
Setuju atau tidak, dipilihnya nama Presiden Joko Widodo menjadi nama salah satu ruas jalan di kota kaya minyak itu bukan tanpa alasan. Mungkin, ini menjadi indikator kedekatan Indonesia dengan UEA atau kedekatan Jokowi dengan Chairman Abu Dhabi Executive Office.
Bisa saja berkaitan dengan hubungan bilateral kedua negara. Hubungan ekonomi, atau hubungan lain. Yang jelas, penabalan nama Presiden Indonesia di negara lain adalah bentuk penghormatan kepada Indonesia.
Hendaknya, pengakuan itu sebagai ungkapan terimakasih atas jasa Presiden Jokowi yang menguntungkan kedua negara. Bukan menguntungkan Indonesia saja, apalagi menguntungkan UEA saja.
Kalau ada waktu dan kesempatan, ingin juga saya sesekali main-main ke Abu Dhabi, menjelajahi jalan Presiden Joko Widodo itu…[Alja Yusnadi]