Oleh: Alja Yusnadi
Jika membaca adalah jendela dunia, maka Bahasa adalah jembatannya. Penghubung jendela dengan jendela, penghubung negara dengan negara.
Begitulah pentingnya Bahasa. Seorang dari balik gunung ingin berkomunikasi dengan seorang lain di balik laut harus melalui Bahasa. Baik Bahasa yang diucapkan dengan lisan, maupun sekedar Bahasa isyarat.
Apakah Anda memiliki pengalaman yang berkesan persoalan Bahasa ini? Jika iya, simpan saja sebagai kenang-kenangan yang suatu saat nanti bisa diceritakan, atau lebih baik menuliskannya, biar dapat dibaca oleh publik.
Saya sendiri memiliki keluarga dari berbagai Bahasa, ada yang berbahasa Aceh, jamee, devayan, singkil, gayo, bahkan istri saya berbahasa mandailing.
Dalam koridor yang lebih luas, Bahasa juga berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan negara dengan negara. Secara mayoritas, ada beberapa Bahasa yang dijadikan “standar” Bahasa dunia, katakanlah begitu. Diperingkat atas masih Bahasa Ingris, ada juga Bahasa Arab, Bahasa Mandarin juga mulai banyak dipelajari. Tentu dengan tidak mengurangi makna Bahasa lain.
Salah satu yang berkepentingan untuk memahami Bahasa asing itu adalah yang ingin melanjutkan pendidikan, baik di dalam negeri, apalagi luar negeri yang sebagian besar menjadikan Bahasa Inggris sebagai pengantar.
Awalnya, saya tidak begitu mengambil pusing perkara Bahasa ini, toh saya juga tidak memerlukannya. Begitu pikir saya, dulu.
Semasa saya menyelesaikan pendidikan Sarjana dan Pascasarjana, perkara Bahasa Inggris ini memang sudah diminta. Sebagaimana yang Anda tahu, “satuan”nya dipakai Test of English as a Foregn Language atau biasa kita sebut TOEFL.
Ada tiga pokok soal yang diukur melalui tes itu: Reading, Structure, Listening. Masa-masa itu bisa saya lewati, walau tidak begitu mulus.
Belakangan, saya mulai memerlukan nilai TOEFL itu dengan standart yang lebih ketat pula: Institutional Testing Program (ITP). Bedanya, tidak semua lembaga Bahasa yang menyelenggarakan tes TOEFL itu berstandar ITP.
Sementara, untuk berbagai keperluan yang dibutuhkan adalah TOEFL ITP.
Mulailah, dengan modal yang pas-pasan, mungkin juga di bawah pas saya mengikuti kursus Bahasa Inggris.
Hasilnya? Kualitas Bahasa saya tidak bisa bohong. Tidak jauh beda dengan hasil dua tahun sebelumnya.
Kalau dalam dunia candu dikenal dengan obsesi kompulsif. Mengharapkan output yang berbeda dari input yang sama.
Sebenarnya, Bahasa ini bukanlah keahlian khusus seperti Enginer, Lawyer. Siapa saja bisa berbahasa. Bayangkan saja, anak-anak di Amerika dan Inggris sudah bisa berbahasa Inggris, begitu juga dengan anak-anak di daerah lain, dapat berbahasa hanya Karena dia lahir sudah mendengar Bahasa itu.
Itu untuk kemampuan berbicara. Berbeda halnya dengan penguasaan ilmu Bahasa. Tidak semua yang bisa berbahasa Indonesia dapat menguasai ilmu Bahasa Indonesia yang harus mempelajari struktur dan unsur penyusunnya seperti Subjek, Predikat, Objek, Keterangan, dan lain-lain.
Kali ini, saya fokus ke penguasaan Bahasa inggris, yang sewaktu saya sekolah menengah pertama dulu sering mengejek dengan Bahasa “kafir”. Ternyata, kian kemari kebutuhan terhadap Bahasa itu kian penting.
Dalam hal ini, basic saya sangat terbatas. Pernah, semasa kelas 1 Sekolah Menengah Pertama, nilai Bahasa Inggris saya jeblok, lebih rendah dari nilai mate-matika yang tidak begitu saya sukai.
Padahal, saya masuk dalam jalur rangking lima besar. Saya mencoba menyukai, tapi situasi pada saat itu tidak mendukung. Sampai ke Sekolah Menengah Atas, pengetahuan saya terhadap Bahasa Inggris tidak membaik.
Pun sampai sekolah tinggi, penguasaan Bahasa Inggris saya di bawah rata-rata, baik perbendaharaan kata, apalagi ilmu bahasanya.
Di tengah arus globaliasi ini, salah satu yang wajib kita miliki adalah kemampuan berbahasa, ya Bahasa negara yang sedang memegang tampuk dunia. Paling tidak tiga Bahasa yang saya sebut di awal tadi.
Saya kira, apa yang saya hadapi ini juga sedang dihadapi oleh sebagian besar generasi muda, mungkin juga yang masih dalam jenjang pendidikan menengah.
Jika demikian, penguasaan terhadap Bahasa harus menjadi salah satu prioritas. Selain di sekolah formal, pemerintah harus mengkolaborasi dengan pendidikan informal, terutama di daerah yang belum ada atau masih sedikit lembaga bahasanya.
Bisa saja pemerintah desa—melalui anggaran desanya—membuka kelas khusus Bahasa. Pemerintah kabupaten melalui pendidikan luar sekolahnya. Atau Kepala Daerah melalui foundationnya membuka kursus Bahasa.
Paling tidak, dari sekian skill yang harus dimiliki oleh generasi muda dalam menghadapi globalisai ini, salah satu skill—bahasa—dia sudah punya.
Oiya, saya masih penasaran dengan Bahasa ini. Saya masih bertekad untuk dapat menaklukkannya. Minimal harus lulus ITP seperti yang disyaratkan. Pun kalau nanti saya memegang kendali wilayah, tolong ingatkan saya untuk menjadikan Bahasa sebagai salah satu fokus. Entah lewat jalur resmi atau jalur pinggiran. Bukan apa-apa, agar Bahasa tidak menjadi nestapa untuk generasi muda. [Alja Yusnadi]