Oleh: Alja Yusnadi
Sebulan terakhir, terjadi dua Coup D’etat—Kudeta. Yang pertama, Kudeta di Myanmar. Seperti biasa, militer melakukan pengambil alihan kekuasaan dari sipil.
Di negara ini, kekuatan militer masih sangat kuat untuk mengontrol negara. Sudah beberapa kali terjadi pengambil alihan paksa itu.
Kedua, secara mengejutkan, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono—AHY–, dalam pidatonya mengatakan ada upaya pengambil-alihan kekuasaan di partainya, oleh orang Demokrat sendiri, mantan orang Demokrat dan orang luar Demokrat. Yang lebih mengejutkan lagi, menuduh ada keterlibatan Orang Dalam Istana—ODI.
Apa yang membedakan kedua upaya pengkudetaan tersebut? Kudeta yang pertama, militer berhasil menguasai Myanmar dengan menyatakan kondisi darurat selama satu tahun kedepan.
Pimpinan politik dari Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) di tahan, dijadikan tahanan rumah. Mungkin juga akan diadili.
Junta militer menuduh, pemilu yang dimenangkan secara dominan oleh LND itu berlangsung curang.
Setidaknya, ada dua tuduhan militer terhadap pelaksanaan pemilu yang berlangsung November 2020. Pertama, pemilu berlangsung curang. Kedua, kegagalan menunda pemilu di tengah Covid-19.
KPU nya Myanmaar menyatakan tidak ada pelanggran. Militer pun bertindak.
Memang, di Asia Tenggara, secara perlahan, negara-negaranya sedang beralih ke negara non demokrasi, dalam berbagai bentuk. Hanya di Indonesia ruang demokrasi itu masih terbuka lebar.
Negara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunei, Kamboja, menganut sistem monarkhi, konstitusional.
Di Malaysia, Rajanya dipilih dari Raja-raja negara bagian. Perdana Menterinya dipilih oleh Dewan Rakyat. Baik Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan tidak dipilih langsung oleh rakyat.
Model demokrasi di Brunai saya kurang paham, entah ada partai politik di sana atau tidak. yang jelas, Raja berkuasa penuh atas rakyatnya.
Selain Malaysia dan Brunai, masih ada Thailand dan Kamboja yang mendasari pengelolaan pemerintahan dengan sistem Kerajaan, hanya saja, ada yang masih absolut seperti Brunai ada juga yang sudah Konstitusional seperti Malaysia, Thailand, Kamboja.
Vietnam menempatkan sosialisme sebagai dasar pemersatu bangsa. Apa saja yang berkuasa di sana harus berafiliasi dengan Partai Komunis Vietnam. Sistem pemerintahannya tertutup, seperti Tingkok.
Dari kesekian model pengelolaan negara, yang paling rentan melakukan Kudeta adalah Thailand dan Myanmar. Sudah beberapa kali Junta Milier berkuasa.
Bagaimana pula dengan Kudeta Partai Demokrat? Ini yang menarik. Biasanya, perebutan posisi Ketua Umum itu terjadi di forum tertinggi Partai. Ada partai, seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Demokrat sendiri memiliki forum tertinggi yang bernama Kongres atau Musyawarah Nasional atau nama lain.
Kemudian, dalam kondisi mendesak atau terjadi karena sesuatu yang sangat urgent bisa dilaksanakan melalui Kongres Luar Biasa, Musyawarah Nasional Luar Biasa. Apakah hal ini pernah terjadi? Sering.
Ada juga partai, yang forum tertingginya adalah forum terbatas, ada yang menamakannya Dewan Syura, ada juga yang menamainya Comite Central. Sama-sama-khusus, sama-sama sentral, sama-sama strategis.
Bisa jadi, sinyal kudeta yang disampaikan AHY itu ditangkap melalui pertemuan-pertemuan yang digelar oleh sebagian kader untuk melaksanakan yang Luar Biasa tadi.
Salah satu pertemuan yang dituduh adalah yang melibatkan Moeldoko yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Staf Presiden yang juga mantan Jendral Bintang empat yang juga mantan Panglima TNI semasa SBY Presiden.
Apakah upaya Kudeta seperti yang disampaikan AHY itu benar akan terjadi? Bisa jadi iya, bisa jadi juga tidak.
Melihat apa yang pernah dialamai Golkar, PPP, Hanura yang terakhir Berkarya, upaya pergantian Ketua Umum secara Luar Biasa bukan hal yang aneh. Yang paling parah pergantian yang dialami Partai Demokrasi Indonesia, sampai melibatkan pemuda yang cepak rambutnya, kekar badannya, dan bukan anggota partai.
Setidaknya, ada beberapa asumsi yang dapat dapat diajukan. Pertama, keterlibatan Presiden Jokowi. Ini adalah periode kedua Jokowi menjadi Presiden. Sehingga kepentingan Jokowi untuk merebut Partai Demokrat sangat kecil kemungkinan.
Apalagi, selama ini, setelah menyatakan berkoalisi dengan rakyat, Partai Demokrat tidak membuat gaduh Senayan. Justru, kritik tajam berasal dari anggota DPR dari partai koalisi.
Kedua, Kepentingan Moeldoko. Sebagai purnawirawan bintang empat. Mantan panglima TNI, dan sudah beberapa tahun menjabat sebagai KSP, membuka kemungkinan lebih besar atas asumsi yang kedua ini.
Lebih tepatnya lagi, ada sebagian kader Partai Demokrat yang ingin partainya dipimpin oleh Moeldoko. Yang jelas, kudeta itu dilakukan dari dalam, oleh orang-orang yang di dalam. Seperti kisah dalam Kitab Pararaton, Ken Arok yang mengkudeta Tunggul Ametung, yang tidak lain dan tidak bukan adalah pemimpinnya.
Moeldoko memerlukan partai untuk bertarung pada Pilpres 2024. Entah sebagai capres, sebagai cawapres atau sebagai “kanselir”.
Kebutuhan terhadap partai politik mutlak. Mengharapkan konvensi dari partai politik sama saja berharap hujan di musim kemarau. Semua Ketua Umum dan kader partai berkeinginan untuk bertarung .
Mendirikan partai sendiri tidak mudah. Butuh anggaran yang besar, jaringan yang luas, dan itupun belum tentu lewat Parlement Threshold. Cara lain yang paling mungkin adalah merebut partai yang sudah ada.
Ketiga, Gimmick. Bisa jadi, Muldoko memiliki kedekatan dengan SBY atau AHY. Dan, “pertarungan” elit itu seperti diskenariokan, disengaja. Pada saatnya, AHY atau Moeldoko akan dipersilahkan.
Menurut saya, jika diurut, kemungkinan itu: nomor dua, nomor tiga, baru nomor satu.
Kemungkinan apapun yang terjadi, ini menjadi “iklan” gratis bagi Partai Demokrat. Di saat partai lain kehilangan momen, partai berlambang Mercy kembali dibicarakan. Yang diharapkan adalah simpati publik.
AHY wajar gundah jika ada sinyal itu. Jangan sampai nasibnya sama seperti Tunggul Ametung yang dikudeta oleh pasukannya, atau Aung San Su Kyi yang di kudeta dari negara yang didirikan oleh ayahnya.