Pinangki dan Noktah Peradilan

0
134
Pinangki
Pinangki (Fhoto: Kompas)

Oleh: Alja Yusnadi

Tok. Tok. Tok. Majlis hakim mengetuk palu. Tandanya, putusan telah dibacakan. Sidang pun selesai. Di hadapannya, seorang perempuan cantik yang sedang duduk di kursi “pesakitan” dan menunggu putusan itu.

Dialah Jaksa Pinangki. Jaksa adalah profesinya di saat terlibat pengurusan kasus Djoko Tjandra, saya sudah pernah menulisnya: Jaksa Pinangki dan Merah Jambu.

Namanya Pinangki Sirna Malasari. Lebih enak memanggilnya Jaksa Pinangki.

Majlis hakim mengganjar Pinangki dengan hukuman 10 tahun penjara, denda 600 juta rupiah, Senin (8/2) di Pengadilan Tipikor, jakarta.

Pinangki terbukti bersalah. Majlis Hakim memutuskan hukuman itu untuk tiga kesalahan. Kesalahan pertama, Pinangki menerima uang dari Djoko sebesar 500.000 USD. Kalau satu Dolar setara dengan 15.000 Rupiah, kalikan saja berapa jumlahnya.

Kesalahan kedua, Pinangki mencuci uang sekitar 375.229 USD. Ketiga, bermufakat jahat bersama Djoko Tjandra-Andi Irfan Jaya—Anita Kolopaking untuk menyuap pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung.

Apa yang menimpa Pinangki ini bukanlah hal pertama, dan juga bukan yang terakhir. Ini adalah noktah atau noda kecil dalam ruang lingkup peradilan.

Entah sudah berapa banyak pembuat dan penegak hukum yang ditangkap karena persoalan serupa Pinangki ini.

Mungkin, cerita heroik pengekan hukum seperti kisah Ratu Sharma di Kerajaan Kalingga hanya tinggal cerita. Bagaimana sang Ratu menghukum Putra Mahkota—anaknya sendiri—yang terbukti bersalah.

Atau, bagaimana cerita tentang Iskandar Muda yang menghukum sendiri anaknya yang terbukti bersalah.

Pun demikian, dalam setiap kepingan sejarah, proses yang antagonis atau yang melawan kebenaran universal ini selalu ada.

Kalau kita tarik sampai ke Mitologi Yunani, seperti yang ditulis Edith Hamilton melalui Mitologi Yunani, bagaimana para dewi cantik berupaya untuk “menyogok” Paris sang Pangeran dari Troya yang ditunjuk sebagai juri untuk menilai siapa yang lebih cantik: Dewi Hera, Dewi Athena, Dewi Aphrodite.

Ketiga Dewi cantik ini berupaya keras untuk dipilih sebagai yang paling cantik. Hera menjanjikan paris sebuah daerah kekuasaan di Eropa dan Asia. Athena menjanjikan Paris sebuah kejayaan melalui kemenangan Troya dalam peperangan. Sementara Aphrodite juga tidak mau kalah, dia menjanjikan wanita cantik untuk Paris.

Akhirnya, Paris memilih Aphrodite. Dia mendapatkan perempuan cantik itu: Helen. Yang karena itu pula menyebabkan Perang Troya.

Cerita seperti itu tidak pernah habis, tidak pernah pudar. Dia selalu hadir dengan bumbu dan alur yang tidak jauh-jauh beda.

Godaan-godan besar apalagi kecil selalu ada. Motif godaan itu tidak jauh-jauh dari uang-Kekuasaan-Kenikmatan. Seperti yang diwakili oleh tiga dewi itu.

Ada juga, godaan dalam bentuk ancaman, bahkan pembunuhan. Ini bukan dalam kisah pewayangan atau mitologi. Ini kisah nyata di zaman modern, dan di Indonesia pula.

Dialah hakim Syafiuddin. Dia dibunuh oleh beberapa orang dalam perjalanan menuju kantornya: Mahkamah Agung. Hakim Syafiuddin adalah Hakim Agung yang menjatuhi Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp. 30,6 Milyar.

Atas kasus kematian Hakim Syafiuddin, Tommy dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Tapi, ya itu tadi, tinjau sana-tinjau sini, potong sana-potong sini, Tommy hanya mendekam selama 4 tahun di penjara.

Kembali ke Jaksa Pinangki. Dia ibarat para dewi cantik tadi yang berupaya menyogok Paris. Bedanya, para dewi menyogok juri untuk sebuah pengakuan siapa yang lebih cantik.

Pinangki menyuap pejabat di kantornya dan di Mahkamah Agung untuk memuluskan orang lain yang pengusaha itu untuk pulang ke Indonesia.

Institusi yudikatif harus berbenah untuk menuju sistem yang ideal yang paling sedikit—jika tidak mungkin hilang sama sekali—sogok menyogoknya. Yang paling transparan prosesnya.

Orang-orang seperti Jaksa Pinangki ini tidak mungkin tumbuh subur jika lingkungan peradilan tidak memberi ruang.

Saya juga masih percaya,institusi yudikatif masih diisi oleh orang-orang yang berintegritas, seperti Hakim Syafiudin, Polisi Hoegeng, Jaksa Baharudin Lopa.

Tentu, integritas tidak hanya milik penegak hukum. Semua kita harus punya itu. Dalam kisah lain, Socrates memilih meneguk racun, di saat Krito—kawan dekatnya—menawarkan Socrates untuk keluar dari tahanan dengan cara menyuap petugas.

Apapun ceritanya, Pinangki sudah menanggung akibatnya. Sudah dihukum. Karirnya sebagai Jaksa telah selesai. Secara menyeluruh, perbaikan sistem peradilan adalah jawaban untuk menghilangkan Noktah itu..[Alja Yusnadi]