Oleh: Alja Yusnadi
“Masuk tepe, lupakan yang lain,” Apakah Anda pernah mendengar kalimat itu? Jika pernah, saya pastikan kita satu almamater.
Ya, tepe itu adalah Teknik Pertanian. Salah satu program studi di bawah Fakultas Pertanian Universitas Syiahkuala.
Saya masuk ke situ tahun 2004, beberapa bulan sebelum tsunami menerjang Kota Banda Aceh dan sekitarnya.
Prodi ini dibuka pada tahun 1997. Sempat terjadi tarik-menarik antara Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian, soal home base jurusan baru ini. Akhirnya, tepe diputuskan berada di bawah Fakultas Pertanian.
Angkatan pertama jurusan ini tidak hanya tumbuh sebagai “ahli” penanganan pasca panen, ahli teknik tanah dan air, dan ahli mekanisasi pertanian. Akan tetapi, juga bersinar di panggung politik, baik di kampus, maupun di luar kampus.
Ada yang pernah menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Syiahkuala. Bendahara Umum BEM Univeristas Syiahkuala. Ketua BEM FP, Ketua DPM FP, Ada juga yang sudah masuk ke dalam gelanggang politik: partai politik dan birokrasi, ada juga yang sudah mencapai derajat tertinggi dalam dunia akademik: Doktor.
Saya sendiri masuk ke dalam dua panggung sekaligus: partai politik dan akademis. Saya beranggapan, perkawinan kedua panggung itu menghasilkan daya juang dan daya cipta yang lebih gimana gitu.
Melalui panggung partai politik, kita bisa mengakses berbagai posisi yang mempengaruhi kebijakan, jangan-jangan pembuat kebijakan itu sendiri. Jika panggung politik itu diisi oleh orang-orang yang memiiki afiliasi dengan dunia akademik, akan menghasilkan rumusan kebijakan yang “akademis” dan dapat memajukan dunia akademik itu sendiri. Kita bisa berbeda pendapat dalam hal ini, tidak masalah.
Saya perhatikan, beberapa—karena saya tidak tahu persis berapa jumlahnya—alumni tepe memiliki akselarasi di panggung politik yang lumayan.
Contoh paling mutkahir itu seperti yang diperagakan oleh duo tepe: M. Yasar dan Hadi Surya. Nama yang pertama sudah mencapai derajat tertinggi di dunia akademik: Doktor. Yasar adalah generasi awal di tepe.
Setelah lulus, Yasar diterima sebagai Dosen PNS di tepe. Sejak saat itu, dia menjadi bagian dari tepe itu sendiri.
Nama yang kedua adalah tepe angkatan 2003. Hadi memilih panggung politik untuk membesarkan namanya. Sekarang, dia merupakan anggota DPRK Aceh Selatan.
Kedua nama inilah yang akhir-akhir ini saling berbalas pantun di media online, di group-group whatsapp Aceh Selatan.
Dalam hal ini, Yasar adalah Direktur Politeknik Aceh Selatan (Poltas) dan Hadi sebagai anggota DPRK Aceh Selatan. Sama-sama traktor, sama-sama alumni tepe.
Saya tidak tahu persis apa yang membuat mereka saling sindir itu, saling ejek itu.
Memang, akhir-akhir ini, Poltas lagi menarik perhatian publik, dengan segala dinamikanya. Harus diakui, salah satu kelebihan Poltas di bawah kepemimpin Yasar sering muncul ke permukaan, dengan berbagai karya dan seremonialnya.
Inilah salah satu cirikhas kepemimpinan orang muda yang kreatif, mampu memaksimalkan sekecil apapun peluang. Dan itu dengan baik dilakukan oleh Yasar, termasuk pendekatan dengan penguasa panggung politik lokal.
Sebagai seorang yang sudah malang-melintang di dunia organisasi, ini memang makanannya Yasar. Soal kepiawaian Yasar ini, saya juga mendengar dari salah satu kolega di Universitas Gajah Putih yang juga kolega Yasar ketika di Malaysia. Menurutnya, Yasar adalah orang yang energik, kreatif, solutif di tengah situasi fisiknya yang tidak seratus persen sehat.
Soal kepemimpinan Yasar ini memang ada lebih dan kurangnya, pun demikian dalam kepemimpinan organisasi pada lazimnya. Namun, dalam hal melambungkan nama Poltas dengan berbagai karya, saya setuju kepemimpinan Yasar ada lebihnya.
Di sisi lain, ada satu hal yang masih belum mampu di tuntaskan Yasar, yaitu soal akreditasi kampus dan membuka program studi baru, seperti yang disampaikan Yasar pada saat pelantikan dirinya beberapa tahun silam.
Inilah yang saya tangkap penyebab Hadi mengkritik koleganya sesama tepe itu.
Kalau begitu, kenapa mereka tidak saling tegur di ruang yang lebih sempit? Di pojok warung kopi misalnya? Inilah masalahnya.
Saya menghimbau, kepada kedua tokoh ini untuk mengakhiri perdebatan yang saya kira tidak terlalu substantif ini di ruang publik. Ya, saya hanya menghimbau, kalau himbauan ini tidak menyelesaikan masalah, Ikatan Alumni Teknik Pertanian untuk turun tangan.
Kalau kita mau memanfaatkan peluang, kolaborasi duo tepe ini sebenarnya menghasilkan daya cipta yang tinggi. Hadi misalnya, dengan kewenangannya sebagai anggota badan anggaran dan Ketua Komisi yang membidangi pertanian, perikanan, UMKM dan membantu pengembangan hasil penelitian yang sudah ditemukan oleh Poltas. Takjub bukan?
Saya kira, cukup demikian dulu. Seperti makanan, kalau sudah kebanyakan ada saja yang tidak mengenakkan, sudah kelebihan gula lah, kekurangan garamlah.
Ini bukan tausiah, ya!..Ini hanya pendapat dari alumni tepe yang lain. Kalau dengan masuk tepe kita bisa melupakan yang lain, apa pasal pula “masalah” sesama tepe tidak bisa diselesaikan dengan cara tepe. Ya, kan?