Oleh: Alja Yusnadi
Aslinya, predator itu sebutan untuk hewan pemakan hewan lain. Dalam perkembangannya, predator juga sering digunakan untuk menyebut manusia pemakan manusia. Tentu bukan makan dalam arti sebenarnya seperti Sumanto.
Predator sering disematkan kepada pelaku pencabulan. Memang belum terdaftar secara resmi di kamus Bahasa, namun sering digunakan oleh media masa. Dan, kali ini, saya juga menggunakan predator untuk menyebut pelaku pencabulan.
Saya tidak tahu, apakah secara psykologi orang-orang semacam ini ada gangguan, atau juga ada kelainan seksiologi. Kemungkinan lain, karena sang predator memiliki hasrat seksual yang menggebu, memuncak di ubun-ubun, sementara tidak ada tempat pelampiasan.
Bisa juga predator itu merupakan gabungan dari ketiga hal tadi: seseorang yang terganggu psykologinya, ada kelainan seks dan juga tersumbatnya pelampiasan.
Saya bukan sedang mengajari predator. Namun, mendorong saya untuk lebih hati-hati dalam menjaga anak. Predator itu bukan binatang asing, binatang liar. Yang paling menakutkan itu justru keluar dari lubang-lubang yang dianggap suci, baik.
Dari beberapa kasus yang terungkap, pelakunya orang dekat. Bisa jadi keluarga, tukang kebun, guru di sekolah, tetangga, dll.
Terbaru, kisah predator ini menimpa salah satu keluarga kerabat saya di Makasar, sebut saja nama kerabat itu Henni. Kami sama-sama menjadi peserta kursus menulis.
Henni menceritakan kisah predator itu melalui akun Pesbuknya. Dalam tulisan yang diunggah akhir Juli itu—yang kemudian viral—Henni menyebutkan, seorang nenek mengamuk karena 3 orang cucunya telah dicabuli oleh seorang yang sangat mereka hormati, yaitu guru mengaji.
Saya terperanjat karena dua hal: 3 orang cucu dan pelakunya guru mengaji.
Seketika, kisah itu viral, pernyataan Henni dikutip oleh berbagai media nasional, dan di wawancarai oleh salah satu stasiun televisi.
Kasus yang menimpa keluarga Henni itu bukanlah hal pertama, dan kita berharap menjadi yang terakhir.
Sebelumnya, sudah banyak kasus serupa. Tidak hanya guru mengaji, tapi ada juga kasus yang melibatkan pihak gereja, seperti kasus pengurus salah satu gereja di Depok. Predator seks yang menyasar anak-anak ini tidak mengenal agama, suku, daerah, dia hadir di mana saja.
Guru mengaji, pengurus gereja adalah lubang suci yang saya sebut tadi. Bagi yang beragama Islam, mempercayakan pendidikan agama, seperti belajar membaca Al-quran kepada guru mengaji.
Bagi yang beragama Katolik, Protestan mempercayakan anak-anaknya untuk belajar Injil dan belajar menjalankan asas-asanya di dalam gereja yang diasuh oleh pengurus gereja.
Baik guru mengaji, pihak gereja, maupun pemuka agama lain seharusnya menjadi teladan, menjaga moral anak-anak, bukan malah menghancurkan masa depannya.
Ketika orangtua menitip anaknya untuk dididik, secara bersamaan orangtua menumpahkan kepercayaannya kepada para pendidik itu.
Ada harapan, di tangan si pendidik, anak-anak mendapat asupan pengetahuan. Entah itu perkara mengaji, hafalan, atau tentang ayat-ayat Tuhan.
Tidak semua demikian. Tapi, beberapa kasus yang telah terjadi memberi isyarat kepada kita bahwa sesuatu yang tidak beres berada di sekeliling kita.
Oleh karena predator tidak jauh-jauh dari kehidupan kita, ada baiknya para orangtua mengawasi setiap tingkah laku anak.
Untuk predator ini, selayaknya mendapat ganjaran hukum yang setimpal. Jangan ada upaya melindungi, apalagi mengulur-ngulur waktu, sampai akhirnya keluarga korban bosan meunggu.
Mungkin, sebagai salah satu cara advokasi, kita dapat mengikuti apa yang dilakukan Henni, meminta “bantuan” pengguna media sosial. Begitu kasus viral, ribuan pasang mata akan mempelototi proses pengusutannya.
Bukan tidak mungkin, jika ada satu-dua orang penegak hukum yang ingin bermain, bisa dimonitor oleh atasannya yang paling atas.
Terakhir, kita tetap waspada terhadap predator ini, seperti kita waspada terhadap Korona…[]