Oleh: Alja Yusnadi
Masih tentang sidang interpelasi. Kali ini saya melihat dari salah satu sudut. Sudut anggota DPRA. Sepertinya, forum hari itu benar-benar menjadi milik anggota dewan, terutama pengusul interpelasi.
Pertama sekali, Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah hadir di ruang paripurna. Dia langsung yang membacakan jawaban tertulis itu. Sudah lama Nova tidak menghadiri sidang paripurna DPRA. Ibarat istri yang sudah lama ditinggal suami. Begitulah kerinduan DPRA kepada Plt. Gubernur Aceh.
Kemudian, standing applause selalu riuh di saat anggota DPRA memberikan tanggapan terhadap jawaban Nova. Yang paling riuh itu di saat Samsul Bahri Tiyong menyanggah Nova soal keberadaan Yunita Arafah, perempuan yang diduga sebagai istri kedua Nova.
Sepertinya, “fraksi” balkon kebanyakan diisi oleh pendukung interpelasi. Mereka memberikan dukungan kepada setiap anggota dewan yang berbicara. Sebenarnya pendukung Nova juga ada. Termasuk beberapa mahasiswa.
Agaknya, para pendukung Nova mati kuti sore itu. Lihat saja angota DPRA dari Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PPP dan Fraksi PKB-PDA. Tidak bisa berbuat apa-apa. Ketua Fraksi PD mencoba bicara, mengingatkan Ketua DPRA mengenai jadwal sidang yang telah lewat dari waktu yang datur di tatib, tidak digubris.
Kemudian, interupsi Nora—anggota Fraksi PD yang juga ketua DPC PD Aceh Tamiang—dianggap melenceng dari pertanyaan Ketua DPRA. Nora tidak bisa menyelesaikan pembicaraannya.
Dua pimpinan—yang non interplasi– juga hanya bisa melihat Ketua DPRA memimpin sidang. Yang kelihatan itu, Dalimi, Wakil Ketua I, di sela-sela sidang mendampingi Nova untuk keluar ruang sidang.
Keleluasaan adalah milik anggota dewan yang pro interpelasi. Mereka silih berganti menyanggah penjelasan Nova. Hari itu, benar-benar menjadi harinya yang pro interpelasi.
Namun, apakah tepuk tangan itu akan berlanjut dengan langkah positif berikutnya? Di sinilah letak masalahnya.
Bagi DPRA, jawaban 40 halaman itu hanya formalitas, tidak menjawab persoalan. Bagi Plt. Gubernur Aceh sudah cukup untuk menjawab interpelasi, kecuali pertanyaan menyangkut Yunita.
Sebagai tuan rumah, DPRA boleh saja mendapat tepuk tangan yang meriah dalam sidang paripurna interpelasi itu. Namun, di luar, Pemerintah Aceh sedang menyiapkan Peraturan Gubernur terkait dengan APBA 2021.
Multi Years yang mereka persoalkanpun jalan terus.
Keduanya tentu tidak memiliki hubungan langsung. Interpelasi dengan Pergub APBA 2021 dua hal yang berbeda. Namun, tidak bisa dipisahkan sama sekali. Ibarat hukum Newton III, “Ketika suatu benda memberikan gaya pada benda kedua, benda kedua tersebut memberikan gaya yang sama besar tetapi berlawanan arah terhadap benda pertama.”
Ibarat memukul meja, semakin besar tenaga yang digunakan untuk memukul meja, maka semakin sakit tangan terasa. Begitu terus sampai meja yang patah atau tangan yang remuk. Dalam hal ini, saya tidak tahu siapa yang menjadi meja, siapa pula yang jadi pemukul. Bisa saja secara bergantian, eksekutif dan legislatif melakoni keduanya.
DPRA tentu memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keputusan. Genderang sudah ditabuh, jangan sampai tidak ada satupun yang mereka pertanyakan dapat dibuktikan secara hukum.
Jangan sampai,menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri..[Alja Yusnadi]