Oleh: Alja Yusnadi
Perangkat itu alat perlengkapan. Seperti perangkat komputer, berarti ada mouse, CPU, printer, keyboard, dll. Perangkat alat shalat, berarti ada sajadah, mukena (untuk perempuan), dan seterusnya.
Begitu juga dengan perangkat Gampong. Ada kepala seksi, kepala urusan, kepala dusun. Ada juga perangkat adat dan perangkat hukum.
Lima tahun terakhir, perihal perangkat gampong ini menjadi diskursus tersendiri dalam sosial-politik masyarakat gampong.
Dulu, para perangkat itu, dengan suka rela membantu Geuchik—kepala desa. Bukan karena mengharapkan honor, bukan pula sebagai jembatan untuk menjadi Geuchik.
Sebagaimana Geuchik, para perangkat itu merupakan sukarelawan, luhur. Mereka mengurus Gampong, mulai dari perkara domestic seperti pertikaian dalam keluarga, antar keluarga, hingga urusan pembagian harta warisan.
Para perangkat itu juga mengurus perkara kenduri hidup, mulai dari turun tanah, sunat rasul, menikah. Sampai anak yang menikah itu turun tanah, sunat rasul dan menikah lagi.
Makanya, tidak jarang Geuchik itu ada yang menjabat sampai 12 tahun, 15 tahun, bahkan ada yang separoh umurnya dihabiskan untuk mengabdi untuk Gampongnya, entah sebagai Geuchik atau sebagai perangkat.
Perkara mati, mulai dari yang fardhu kifayah, sampai tahlil tujuh malam juga diurus oleh para perangkat itu, tentu dengan porsi masing-masing.
Lambat laun, nilai itu mulai bergeser, juga seirama dengan perkembangan zaman. Pemerintah sudah mulai membayar jeri-payah para perangkat itu.
Tentu, diikuti pula dengan sejumlah aturan yang kadang-kadang njelimet. Dalam tulisan yang lain : Perihal Desa dan Perangkatnya saya sudah menyinggung sedikit perihal yang bermasalah dari perangkat itu.
***
Belum lama ini, sebagai warga yang baik, saya mengikuti rapat pemilihan kepala dusun. Masalahnya pun sama. Ada orang yang dianggap layak untuk menjadi kadus, terkendala dengan usia. Sudah lebih 42 tahun.
Hampir saja, seorang anak muda terpilih menjadi kadus pada malam itu. Pasalnya, jumlah “bonus demografi” yang hadir mayortitas. Untung saja, seorang petua Gampong menyela,” ini bukan perkara main-main, kadus itu harus mengetahui segenap reusam dan adat-istiadat, bukan untuk main-main.”
Syukurlah, anak muda itu memahaminya, menolak pencalonan dirinya. Kalau tidak, saya prediksi dia akan menang mudah.
Itu yang saya lihat sendiri, yang saya kira juga dialami oleh banyak Gampong di Aceh. Perangkat, termasuk Kadus dan Imum chik harus berusia 20-42 tahun.
Ada yang menarik. Seorang peserta rapat, menyampaikan pengalaman yang terjadi di Kecamatan yang lain dalam Kabupaten yang sama. Intinya, mereka secara kolektif menyampaikan keluhan kepada pemerintah atasan, bahwa tidak bisa menjalankan aturan itu.
Kadus tidak bisa dipaksakan menuruti usia 20-42 tahun. Karena, menurut mereka, urusan kadus tidak sesederhana itu.
Menariknya, ruang itu mulai dibuka. Baik secara legalitas maupun keuangan.
Inilah yang harus dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan di Aceh. Seluruh Gampong yang tidak bisa menjalankan aturan itu secara kolektif menyampaikan kepada Kecamatan.
Kecamatan menyampaikan ke Kabupaten, dan seterusnya, sampai ke Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi juga ke Komisi II DPR RI.
Sesekali, reses anggota DPR sampaikan menyangkut perbaikan regulasi itu. Jangan melulu ihwal bangun ini-bangun itu. Kita bangunkan regulasi yang tidak sesuai dengan keragaman.
Kalau tidak punya kesempatan bertemu dengan anggota DPR, cukup sampaikan pada saat reses anggota DPRK, DPRA. Sampaikan masukan itu kepada mereka. Kalau perlu, buat berita acara, biar disampaikan kepada kolega yang ada di Komisi II DPR.
Pemerintah harus mengetahui perkara ini.
Satu sisi, kita beri apresiasi kepada pemerintah yang terus memperbaiki jeri payah perangkat Gampong. Namun, di sisi lain, kita harus memberikan masukan. Ada yang tidak sesuai dengan kearifan kita.
Inilah yang namanya membangun dari bawah. Sesuai kebutuhan masyarakat. Karena Gampong adalah penyangga negara ini. Revisi 20-42 yang memusingkan itu…[Alja Yusnadi]