Oleh: Alja Yusnadi
Ada macam-macam juru. Ada juru taktik, ada juru masak, ada juru tulis, ada juru bicara. Juru itu, orang yang pandai dalam suatu pekerjaan, orang yang cakap, orang yang cermat.
Dari beberapa juru itu, kali ini, saya hendak menulis tentang juru bicara. Orang yang ahli berbicara, atau orang yang kerjanya memberi keterangan resmi dan sebagainya kepada umum. Pembicara yang mewakili suatu kelompok, lembaga atau organisasi. Singkatnya, juru bicara—jubir– ini menjadi penyambung lidah dari orang atau lembaga yang diwakilinya.
Keberadaan jubir ini sangat strategis dalam menjaga hubungan antara lembaga yang dia wakili dengan khalayak. Orde Baru pernah memiliki jubir yang begitu membekas: Harmoko.
Presiden Harto meletakkan jubir ini begitu tinggi, begitu penting. Jubir langsung dipegang oleh Menteri Penerangan, sebuah Kementrian yang dibubarkan setelah reformasi. Melalui bibir Harmoko inilah program-program pemerintah disampaikan, terutama yang menyangkut petani, nelayan, dan masyarakat kecil.
Memang, zaman Harmoko dengan zaman sekarang berbeda sama sekali. Dulu, informasi sepenuhnya dikuasai oleh TVRI dan RRI. Pemerintah, jika hendak menyampaikan sesuatu kepada rakyatnya, cukup melalui dua saluran itu. Lihatlah, bagaimana Kelompencapir yang ditayangkan TVRI itu, seolah-olah antara Presiden Harto dengan Petani tidak ada jarak, tidak ada sekat.
Sekarang, arus informasi begitu deras. Tidak beraturan, kadang-kadang berputar seperti air di dalam Tui. Masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi yang kadar kebenarannya bermacam-macam.
Di Jakarta, jubir baru mau menyampaikan pesan, di ujung pelosok negri, masyarakatnya sudah mengetahui, entah itu dari media yang terferivikasi, maupun dari pesan berantai yang tidak jelas dari mana sumbernya.
Tidak jarang, informasi itu bertentangan dengan fakta. Masyarakat di buat bingung, dan lama-lama membangun ketidakpercayaan kepada Pemerintah. Karena, kebohongan yang disampaikan berulang kali, akan menjadi kebenaran yang salah.
Harusnya, di sinilah peran jubir. Bagaimana informasi tentang sesuatu yang sangat penting sampai kepada masyarakat dalam porsi yang sesuai. Sebutlah contoh kecilnya mengenai vaksin.
Rendahnya minat masyarakat untuk vaksin tidak bisa dilepaskan dari berbagai informasi yang sampai kepada mereka, terutama soal efek yang ditimbulkan. Berbagai informasi, baik dalam bentuk video, berita, secara berantai beredar di media sosial. Salah satu tantangan jubir adalah memotong—paling tidak menyeimbangi—berita-berita yang tidak jelas itu.
Seperti juru masak, setiap jubir juga memiliki keahlian khusus. Resep yang sama, bisa berbeda rasanya di tangan antar juru masak. Demikian juga jubir, ada yang ahli di medan tempur yang becek, ada juga yang ahli di medan tempur kering.
Becek itu saya ibaratkan untuk medan tempur seperti facebook. Media sosial jenis ini banyak digunakan oleh masyarakat. Lawannya kering, saya ibaratkan untuk twitter. Penggunanya, kalau saya tidak keliru lebih banyak masyarakat menengah ke atas.
Menjadi jubir, berarti harus siap dengan segala medan tempur, baik di medan becek maupun di medan kering. Walaupun, secara personal, masing-masing jubir itu ada yang lebih ahli di medan kering dan ada yang lebih lihai di medan becek.
Jubir juga harus fleksibel, ada kalanya menyerang seperti wataknya Ali Muktar Ngabalin, ada kalanya bertahan, kalem seperti wataknya Johan Budi ketika menjadi jubir KPK. Menjadi jubir, bukan berarti harus menyenangkan banyak orang. Akan tetapi, jubir yang berhasil menjalankan peran kejubirannya adalah yang disukai banyak orang.
Mempertahankan peran penting jubir di era digital ini memang tidak gampang. Paling tidak, jubir harus mampu menyampaikan informasi penting kepada khalayak, setidak-tidaknya, jangan meninggalkan medan tempur yang becek itu…[Alja Yusnadi]