Oleh: Alja Yusnadi
Valentino Rossi belum mampu meraih podium ke 200. Padahal, MotoGP seri Catalunya menjadi harapan besar baginya. Memulai balapan dari barisan depan tidak menjamin podium. VR46 sempat membuka asa hingga pertengahan laga, berada pada posisi ke dua, di belakang Quartararo. Tapi tidak lama, seperti biasa: crash. Vale terjatuh.
Podium satu, dua dan tiga berturut-turut milik Quartararo, Joan Mir dan Alex Rin.
Saya bukan pendukung fanatik Vale. Namun, ada keinginan melihat pembalap gaek itu kembali podium. Paling tidak, Rossi menjadi contoh, usia bukanlah kendala.
Setelah Vale jatuh, saya membaca beberapa berita, melalui Hand Phone. Muncullah perempuan yang tidak begitu muda tapi tidak juga begitu tua. Menggunakan masker dan pelindung wajah.
Sekilas, sulit dikenali, apalagi saya memang tidak kenal sebelumnya. Hanya karena sering muncul di berita, ditambah lagi perannya yang aduhai, memaksa kita—pembaca—untuk mengenalinya.
Dialah Pinangki, lengkapnya: Pinangki Sirna Malasari.
Sebelumnya, saya sudah pernah menyinggung mengenai Pinangki, di awal kemunculannya. Bagi saya, Pinangki itu menarik. Pertama karena namanya. Pinangki adalah nama yang unik, tidak pasaran. Saya menyukai nama itu.
Kedua, sebagai penegak hukum, Pinangki masih sempat sekolah hingga meraih gelar Doktor. Gelar tertinggi dalam bidang akademik. Pun Pinangki masih sempat mengajar.
Kehebatan itu seketika sirna seperti namanya, ketika Pinangki tersangkut kasus Djoko Tjandra. Karirnya sebagai Jaksa nyaris tamat.
Sekarang, kasus Pinangki sudah ditangani Kejaksaan Agung, lembaga yang melambungkan namanya, dulu. Pinangki sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah masuk masa persidangan pula.
Ketika dalam pemeriksaan, Pinangki tampak lusuh dengan rompi merah jambu. Dia nampak lelah setelah diperiksa berjam-jam. Sorot matanya sayu.
Awalnya saya penasaran dengan rompi yang dia gunakan. Rupanya, rompi merah jambu sebagai penanda, bahwa pemakainya merupakan tahanan Kejaksaan Agung kasus tindak pidana korupsi.
Kalau tidak salah, ada enam bidang di Kejaksaan Agung, masing-masing satker memiliki warna khusus. Pembinaan warnanya kuning, intelijen warnanya hijau, pidum warnanya merah marun atau merah tua, pidsus warnanya merah jambu, datun warnanya kuning tua, Jamwas warnanya biru muda.
Lalu, apa kaitannya merah jambu dengan tipikor? Kalau itu saya kurang tahu. Yang jelas, tidak mereduksi makna merah jambu bagi Anda penggemarnya. Sama seperti warna orange KPK, itukan tipikor juga.
Jadi, jagan takut, tipikor tidak hanya milik merah jambu.
Pinangki bukan yang pertama menggunakan rompi merah jambu. Sudah duluan Mandra, komedian yang terseret kasus siar TVRI, La Nyala Mataliti-Ketua DPD RI sekarang– terkait dugaan korupsi hibah dan bansos Jawa Timur, dan beberapa nama lain. Kalau tidak ada halangan, Djoko Tjandra—patnernya Pinangki—juga akan memakai rompi serupa.
Pada kemunculan pada sidang perdana, Rabu (23/9), Pinangki menggunakan jilbab merah jambu—bukan jilbab seragam– dipadu dengan baju yang juga bernuansa serupa. Kecantikannya seakan kembali.
Kasus ini menyita perhatian publik karena menyeret nama-nama petinggi di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Itu masih dalam action plan Pinangki. Ditambah lagi terbakarnya kantor Kejaksaan Agung. Untuk memuluskan pembebasan Djoko, Pinangki dan tim akan menyuap ST. Burhanuudin dan M. Hatta Ali.
Kedua nama itu adalah Jaksa Agung dan mantan Ketua Mahkamah Agung, yang tidak lain dan tidak bukan adalah pemimpin tertinggi di kedua lembaga penegak hukum tersebut.
Pinangki sudah mengajukan “proposal” kepada Djoko sekitar 148 milyar untuk menyelesaikan kedua pejabat tersebut, seperti tertera dalam dakwaan Jaksa.
Atas perbuatannya, Jaksa menjerat Pinangki dengan tiga tuntutan: Penerimaan suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat.
Nampaknya Pinangki susah untuk keluar dari jerat teman seprofesinya dulu. Kejaksaan Agung harus menangani kasus ini dengan sebaik-baiknya, jika tidak ingin disebut ikut terlibat oleh publik.
Ibarat MotoGP, Pinangki mengalami crash berat. Terancam tidak bisa mengikuti balapan lagi. Lebih berat dari Marck Marquez yang tidak bisa mengikuti hampir satu musim kompetisi. Pinangki terancam tidak bisa balapan lagi.
Kalau Rossi memaksakan diri agar dapat segera meraih podiumnya yang ke 200, Pinangki malah memaksakan diri untuk memanjat status sosial. akhirnya jatuh, berkeping.
Apakah Pinangki bekerja sendirian? Terlalu besar rasanya kasus ini untuk Pinangki seorang.
Pinangki, Oh, Pinangki…[Alja Yusnadi]